GANGGUAN JIWA YANG DIALAMI
NEDENA DALAM NOVEL DADAISME
KARYA DEWI SARTIKA
Diajukan untuk Memenuhi
Tugas Akhir Mata Kuliah Ilmu Lughoh Nafsiah
Dosen Pengampu:
Himmatul Khoiriah, M.Pd.
Disusun Oleh :
Indri Andriani
A81209092
FAKULTAS ADAB
BAHASA DAN SASTRAN ARAB
INSTITUD AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2011
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Psikologi sastra adalah adalah suatu kajian karya sastra yang bersifat interdisipliner . Karena mengkaji dan memahami sastra dengan menggunakan berbagai konsep kerangka teori yang ada dalam psikologi. Adapun pengertian psikologi adalah kajian menguraikan kejiwaan dan meneliti alam bawah sadar pengarang. Sedangkan hubungan antara sastra dan psikologi lebih dikarenakan munculnya istilah psikologi sastra yang membahas tentang hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra, misalnya karakter tokoh-tokoh dalam suatu karya sastra yang diciptakan pengarang berdasarkan kondisi psikologi yang dibangun oleh pengarangnya. (Putra, Andhika Dwi: 2010).
Pada penelitian karya sastra novel Dadaisme karya Dewi Sartika, kami menggunakan teori Sigmund Freud, yaitu sebuah teori yang memiliki tiga unsur pembentuk kepribadian, diantaranya unsure ide, ego, dan super ego. Jika ketiganya berjalan seimbang maka manusia akan memperlihatkan watak yang wajar.
Karya sastra Novel Dadaisme Dewi Sartika terinspirasi dari ciri-ciri dadaisme yaitu menolak keteraturan, berusaha menciptakan suatu kontradiksi dan paradox, menolak kemapanan dan tatanan sesuatu, dan ketidakteraturan sebagai dasar utama kesenian. Hal ini tampak pada tokoh utama dalam novel Dadaisme yaitu Nedena menolak atau memberontak terhadap segala sesuatu yang telah ada. Contoh penolakannya adalah Nedena tak pernah menggambarkan langit dengan warna biru seperti lazimnya, tetapi warna merah muda dan matahari berwarna orange seperti jeruk. (Dadaisme hal: 6).
1.2 Rumusan Masalah
a. Bagaimana bentuk gangguan jiwa yang dialami Nedena dalam novel Dadaisme?
1.3 Tujuan
a. Mengetahui bentuk gannguan jiwa yang dialami Nedena dalam novel Dadaisme.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Struktur Kejiwaan Tokoh Nedena
Nedena adalah seorang anak berusia 10 tahun yang memilki perilaku ganjil. Contoh perilaku ganjil Nedena adalah dia tidak mau berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya, dia juga selalu mewarnai langit dengan warna-warna yang dia kehendaki, kecuali biru. Nedena tidak suka warna biru, bahkan dia tidak punya krayon berwarna biru. Atas perilakunya yang ganjil itu, Nedena dianggap gila oleh Bibi dan orang-orang dewasa lainnya.
Nedena mempunyai sahabat di alam bawah sadarnya. Sahabatnya bernama Michail, malaikat kecil imajiner Nedena yang berwarna hitam dan bersayap satu. Di dalam cerita novel Dadaisme, Michail juga dapat berkomunikasi dengan tokoh-tokoh lain yang akan dan ingin mati. Nedena hanya dapat berkomunikasi dengan Michail melalui alam bawah sadarnya, bahkan Nedena lupa bagaimana cara bersuara. Untuk mengetahui penyimpangan kejiwaan dalam kepribadian Nedena, penulis menguraikan perilaku-perilaku Nedena dengan menggunakan teori psikokogi kepribadian Freud.
1. Das Es (the id)
Id atau Es merupakan realita psikis yang sebenar-benarnya dan berisikan tentang hal-hal yang dibawa sejak lahir termasuk insting-insting. Id adalah wadah dari jiwa seseorang yang berisi dorongan dorongan primitif, dorongan-dorongan primitif tersebut menghendaki untuk segera dipenuhi. Apabila dorongan primitif itu tidak dipenuhi dengan segera maka akan menimbulkan ketidakpuasan dan akan merasa sedih serta kecewa.
Dorongan primitif yang pertama dalam Novel Dadaisme pada diri Nedena adalah keingintahuannya dengan warna biru yang ada dalam sulutan api. Seorang anak pada umumnya memiliki rasa keingintahuan yang besar. Nedena pun demikian, dia tertarik dengan warna biru yang terdapat di dalam sulutan api. Sayangnya dorongan primitif yang dialami Nedena itu sangat merugikan karena akibat keingintahuannya itu membuatnya menjadi trauma dengan warna biru yang dapat mencelakai ibunya. Dorongan primitif yang pertama tersebut dapat kita cermati melalui kutipan berikut:
“Mama…mama, kenapa mama marah pada Nedena. Nedena hanya ingin mainan itu, tapi kenapa mama tidak mau membelikannya… kenapa?” suaranya tampak seperti kanak-kanak yang merana.
“Saya mengehentikan arah suntikan yang sudah saya siapkan. Memandang mata Nedena yang kosong dan memandang ke arah depannya.
“Nedena ingin mainan yang berwarna biru itu, tapi mama malah memarahi Nedena. Tapi sungguh, Nedena tidak bermaksud ingin membuat mama terbakar api. Nedena hanya ingin mainan api yang kadang berwarna biru itu saja. Nedena tidak tahu kalau api itu semakin besar, semakin besar!”. (Sartika, 2006: 188-189) .
Dorongan primitif yang kedua adalah Nedena tidak ingin merasa kesepian. Untuk menghilangkan rasa kesepiannya itu, dia meminta Michail untuk selalu berasa di sisinya. Nedena tidak ingin berpisah dengan Michail. Bahkan Nedena rela untuk selalu bersama-sama dengan Michail meski ke neraka sekalipun. Kesetiaan Nedena kepada Michail sebenarnya disebabkan dia tidak ingin merasa sendiri atau kesepian. Keinginan Nedena untuk tidak berpisah dengan Michail dapat kita cermati dalam kutipan-kutipan berikut.
“Nedena menatap malaikat kecil di hadapannya yang sayapnya hanya satu. Tangannya meraih tangan malaikat kecil itu, lalu Nedena menatap dalam-dalam dengan roman serius ke malaikat kecil tersebut. Dan hatinya kembali berkata: Kalau kau tidak bisa lagi pergi ke surga maka aku akan menemanimu ke neraka”. (Sartika, 2006: 10) .
“Apakah kau akan meninggalkanku Michail? Michail mendekap Nedena dari belakang dan berbisik lembut di telinga gadis cilik itu, Aku tidak akan pernah meninggalkanmu Nedena. Sejak kita berdua bersumpah akan selalu bersama, walau ke neraka sekalipun”. (Sartika, 2006: 12) .
Dorongan primitif yang ketiga adalah keinginan Nedena untuk mengetahui mengapa Tuhan mewarnai langit dengan warna biru. Dorongan primitif tersebut dapat kita cermati melalui kutipan berikut.
“Michail, dapatkah kau sampaikan kepada Tuhan, mengapa dia mewarnai langit dengan warna biru? Ah, kau tidak bisa menyampaikannya ya? wajah Nedena tampak kecewa.” (Sartika, 2006: 10) .
Berdasarkan uraian id yang dialami Nedena, dapat disimpulkan bahwa Nedena sangat membutuhkan Michail dalam kehidupannya, dia tidak merasa kesepian lagi jika keinginannya untuk selalu bersama Michail dapat terpenuhi. Pada dasarnya Nedena berkeinginan untuk dapat bersuara lagi, dia juga rindu memakan buah jeruk yang warnanya juga membuatnya trauma. Ada pula dorongan primitif dalam diri Nedena yang bersifat merusak, yaitu keinginannya untuk bermain korek api. Nedena tidak merasa senang ataupun puas setelah bermain korek api, namun sebaliknya, Nedena merasa sangat bersalah karena korek yang dia sulut membuat ibunya terbakar dan meninggal, bahkan dia sangat menyesal karena tidak dapat menyelamatkan ibunya dari kobaran api.
2. Das Ich (the ego)
Peranan Das Ich timbul demi kepentingan kemajuan Das Es, bukan untuk merintanginya. Sebagai individu, manusia mempunyai kebutuhan dan apabila kebutuhan itu disebabkan oleh adanya hubungan dengan dunia luar, maka tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu yang bersangkutan adalah harus menyesuaikan dengan dunia luar atau kenyataan. Das Ich berperan utama sebagai perantara antara kebutuhan instinktif dengan keadaan lingkungan.
Kenyataan yang pertama adalah Nedena menyalakan api. Akibat kenyataan tersebut rumah dan ibunya hangus terbakar. Kenyataan itu membuat Nedena merasa sangat bersalah. Kenyataan tersebut dapat kita simak dalam kutipan berikut ini.
“Tapi Nedena membuat mama meninggal!
Bukan kamu, Sayang, tapi api yang telah membuat mamamu meningal!
Tapi, Nedena yang menyalakan api…” (Sartika, 2006: 188-189) .
Kenyataan yang kedua adalah Nedena sangat kebingungan saat Michail tidak berada di sisinya. Dia mencari-cari Michail dengan sangat kebingungan. Bahkan karena dia merasa kesepian tanpa Michail, Nedena nekat bunuh diri untuk mencari Michail di neraka, sebab mereka telah berjanji untuk tidak saling meninggalkan. Kenyataan tersebut dapat kita cermati dalam kutipan-kutipan di bawah ini.
“Michail…Michail…!” Nedena tampak sibuk mencari-cari sosok yang ingin dilihatnya. Sosok yang sebenarnya tidak pernah hilang satu kali pun dari sisinya, tapi sekarang, di mana Michail?
“Siapa yang kamu cari, Nedena? Malaikatmu?”Tanya Aleda dengan lembut.
“Aku sudah mencarinya dimana-mana, kenapa dia tidak muncul, Dokter!” Nedena tampak panik, air matanya sudah berlinang di antara kedua pipinya.” (Sartika, 2006: 177)
Kenyataan yang ketiga adalah Nedena selalu mewarnai langit dengan warna-warna kesukaanya. Nedena merasa puas setelah mewarnai langit dengan warna-warna yang tidak biasa, bukan dengan warna biru. Kenyataan Nedena tersebut dapat kita simak dalam cuplikan berikut.
“Sekali lagi dia menggambar langit, dan kini dia mengganti warna menjadi merah muda dengan matahari berwarna hijau. Dan, gambar itu dipajangnya selalu di dinding kamarnya. Selalu langit yang tidak biasa.” (Sartika, 2006: 7) .
Kenyataan keempat adalah Nedena tidak mau mengingat-ingat kejadian kebakaran yang menewaskan mamanya. Nedena selalu menolak setiap kali Michail maupun dr. Aleda memaksanya untuk mengingat-ingat hal tersebut karena Nedena tidak ingin kembali bersedih, merasa sangat bersalah dan merasa sebatang kara. Kenyataan tersebut dapat kita simak dalam cuplikan berikut.
“ ‘Aku lupa. Aku tidak ingat , sejak kapan aku tidak bisa tertawa lagi.’
‘Kenapa kamu membawa lupa dalam ingatanmu?’
‘Aku juga lupa sejak kapan dia ada.’
‘Baiklah. Aku akan pergi untuk mencari ingat sebagai pengganti lupa.’
Jangan. Kau tidak boleh aku!’ Nedena segera meraih tangan Michail, seperti meraih sepercik harapan yang hampir musnah. ‘Aku lebih baik lupa, jangan bawa ingat padaku, jangan tinggalkan aku sendirian!” (Sartika, 2006: 36-37) .
Pendorong ego kelima yang dialami Nedena adalah saat dia menekan-nekan lehernya agar dapat kembali bersuara. Kenyataan dia hanya dapat menangis. Kenyataan tersebut semakin menenggelamkan keinginannya untuk kembali dapat bersuara. Kenyataan tersebut dapat kita cermati melalui kutipan berikut.
“Gadis kecil itu panik. Dia menekan-nekan lehernya, ingin kembali menangis lagi, dan memang hanya suara tangis yang keluar dan belum berhenti. ‘Suaraku! Suaraku!’ dia berteriak dan hanya menangis yang semakin menenggelamkan keinginan bersuara.
Dan Nedena ingat, kapan dia telah kehilangan suaranya, yang telah bersembunyi di antara sekeping kesedihan dan perasaan bersalahnya” (Sartika, 2006: 181)
Berdasarkan uraian struktur kepribadian Das Ich di atas, dapat disimpulkan bahwa Nedena tidak mampu mengendalikan prinsip egonya. Nedena tidak mampu mengendalikan keinginannya bermain api yang dapat membakar rumah dan ibunya. Rasa takut Nedena akan kehilangan Michail sangat berlebihan, hal itulah yang membuatnya putus asa lalu memilih untuk bunuh diri. Nedena merasa takut untuk mengingat-ingat kejadian kebakaran yang telah menewaskan mamanya karena hanya akan membuat Nedena merasa tertekan, kesepian dan selalu diselimuti perasaan bersalah.
2. Das Uber Ich (the superego)
Superego adalah penyeimbang dari id. Semua keinginan-keinginan yang ada dalam id sebelum dilaksanakan menjadi kenyataan dipertimbangkan dulu oleh superego. Superego menitikberatkan pada aspek moral. Respons superego dalam diri Nedena yang pertama adalah pilihannya untuk tidak masuk ke dalam surga. Nedena sempat mempertimbangkan keadaan surga dan neraka. Sebenarnya Nedena tahu jika semua orang pasti menganggap surga itu indah dan neraka itu buruk. Namun, anehnya Nedena tidak menganggap surga itu indah, karena Nedena takut jika di surga ada ibunya, dia pasti akan dimarahi, sehingga Nedena lebih memilih neraka. Pertimbangan Nedena itu dapat kita cermati melalui kutipan sebagai berikut.
“Tapi, aku juga tidak pernah menganggap Neraka itu buruk. Memang semua orang bilang nereraka itu tempat yang menyakitkan. Tapi, tidak ada bukti bahwa neraka itu panas dan menyakitkan.
Anehnya lagi, aku juga tidak menganggap surga itu indah.
Padahal Ibu Aleda bilang, mama pasti disurga, dan tidak marah lagi. Tetapi siapa yang bisa memastikan kepadaku, Michail, kalau mama tidak marah lagi. Kalau surga ada mama, siapa tahu mama akan memarahiku. Lalu diacungkannya sapu lidi itu kepadaku sambil berkata. “Kamu nakal…”Michail… aku jadi takut.” (Sartika, 2006: 262) .
Berdasarkan kutipan di atas pula dapat disimpulkan, kemungkinan besar Nedena selalu mendapatkan hukuman cambukan sapu lidi dari mamanya. Nedena yang merasa bersalah kemudian membayangkan hukuman yang akan diterimanya jika dia bertemu mamanya di surga.
Respons superego yang kedua adalah saat Nedena dapat bersuara kembali setelah dr. Aleda memberikannya terapi. Saat melakukan terapi, Aleda berkata kepada Nedena agar bersuara lagi karena Tuhan telah menciptakan pita suaranya untuk berujar. Respons superego yang diberikan oleh dr. Aleda itu dapat diterima oleh Nedena hingga dia dapat bersuara kembali.
“……..Tidak!!!! Ini pertama kalinya Nedena berhasil bersuara lantang. Aleda tampak lega mendengarnya.
Suaramu bagus, Nedena. Bersuaralah. Tuhan telah menciptakan pita suara manusia agar bisa berujar. Itulah yang membedakan kita dengan binatang!” ujar Aleda dengan bangga.” (Sartika, 2006: 177) .
Respons superego Nedena yang ketiga adalah tidak didengarkannya nasihat gurunya untuk mewarnai langit dengan warna biru, bukan dengan warna yang lain. Guru Nedena mengatakan bahwa warna-warna langit dilukisannya itu tidak pantas karena Tuhan memberikan langit dengan warna biru, bukan warna yang lain. Ibu guru juga meminta Nedena untuk mewarnai lagi langit dengan warna biru, namun Nedena tetap menggambar langit dengan warna-warna sesukanya.
“Guru itu akan menilai bahwa gambarnya tidak pantas, dan dia harus menggambar lagi langit dengan warna biru? Dan, kenapa harus biru. Apa karena Tuhan sudah menetapkan bahwa langit biru, maka tidak ada manusia yang boleh menggambar langit selain biru?
Sekali lagi dia menggambar langit, dan kini dia mengganti warnanya menjadi merah dengan matahari berwarna hijau.” (Sartika, 2006: 6-7)
Berdasarkan uraian superego yang dialami Nedena di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam kepribadian Nedena terdapat pertentangan antara pendorong ego dengan pengekang superego. Artinya kenyataan yang dilakukan oleh Nedena bertentangan dengan aspek moral yang telah ada dalam masyarakat. Misalnya, Nedena tidak pernah mewarnai langit dengan warna yang wajar (biru), padahal masyarakat menilai warna langit yang wajar adalah biru dan tidak dapat digantikan dengan warna-warna lain. Nedena tidak mau berbicara meskipun pita suaranya normal. Padahal sebagai manusia pasti membutuhkan komunikasi dan interaksi. Bahkan Nedena menganggap neraka jauh lebih indah dari pada surga. Padahal sewajarnya manusia mendambakan surga, bukan neraka yang menyakitkan.
Berdasarkan struktur kepribadian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak ada keseimbangan antara id, ego dan superego yang dialami oleh tokoh Nedena. Pendorong id bertentangan dengan kekuatan pengekang superego sehingga muncul neurosis dalam kejiwaan Nedena, yakni seperti sakit saraf dan mental yang membuatnya tertekan namun tidak diartikan dalam kondisi gila. Nedena cenderung mementingkan prinsip kenikmatan daripada aspek sosiologis yang berkembang di masyarakat, sehingga terjadi ketegangan di dalam diri atau kepribadian Nedena.
2.2. Gangguan Kejiwaan Tokoh Nedena
Dahulu gangguan kejiwaan dapat diartikan sama halnya dengan gangguan mental. Kini, dipersempit hanya mencakup disorganisasi kepribadian yang parah. Istilah ini memang cocok bila yang dimaksud adalah gangguan-gangguan yang benar-benar melumpuhkan (Supratiknya, 1995: 16). Nedena mengalami beberapa penyimpangan dalam kepribadiannya. Dia mulai menutup diri dari interaksi dengan lingkungan sekitarnya sejak usia enam tahun padahal umumnya di usia tersebut biasanya anak senang belajar ketrampilan, bermain dan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Gangguan-gangguan kejiwaan yang dialami tokoh Nedena dalam novel Dadaisme diantaranya sebagai berikut:
1. Masa Kanak-Kanak dan Peristiwa Traumatis
Nedena mengalami trauma di masa kanak-kanaknya. Peristiwa yang membuatnya trauma adalah kebakaran yang terjadi di rumahnya pada saat dia berumur enam tahun. Mama Nedena turut terbakar dalam peristiwa tersebut. Api berasal dari korek api yang dimainkan Nedena sehingga dia beranggapan bahwa dia telah membunuh atau membakar mamanya. Pada saat sebelum peristiwa itu terjadi, Nedena merengek kepada mamanya untuk dibelikan korek api. Nedena tertarik dengan warna biru yang muncul ketika korek api disulut, namun mama Nedena menolak untuk menuruti permintaannya. Diam-diam ketika mama Nedena tidur di kamar, Nedena mengambil korek api di dapur. Dia menyulut korek api itu dan kemudian api membakar dapur. Kemudian Nedena lari keluar rumah supaya mamanya tidak marah. Lalu dia bertemu dengan Michail yang mengatakan bahwa siapa pun yang berada di dalam rumah yang terbakar tidak akan selamat. Sejak saat itu Nedena menyadari bahwa mamanya telah meninggal dalam kebakaran tersebut.
“Api itu makin besar dan Nedena takut mama marah, jadi Nedena lari keluar rumah supaya mama tidak marah. Tapi api itu membakar dapur rumah dan mama masih tidur di dalam kamar, dan Nedena takut karena warna birunya hilang termakan warna oranye yang panas…” (Sartika, 2006: 189)
Pada dasarnya, ketika Nedena bermain korek api merupakan suatu bentuk pembangkangnya kepada orang tuanya. Nedena tidak mengindahkan teguran mamanya yang melarangnya bermain korek api. Dalam mendidik Nedena, Yusna tidak dapat menggantikan sosok seorang ayah. Sosok seorang Ayah yang dirindukannya itulah yang membuat dirinya tidak memiliki sifat feminim. Sebagai contohnya adalah Nedena membenci menangis.
Akibat peristiwa memilukan itu Nedena menjadi membenci warna biru karena api yang disulut dari korek api terkadang juga berwarna biru. Nedena yang gemar menggambar tidak pernah mewarnai langit dengan warna biru, tetapi dengan warna-warna kesukaannya seperti warna hitam, ungu, perak, hijau dan lain sebagainya. Bahkan Nedena tidak pernah memiliki krayon berwana biru. Kebiasaan Nedena itu membuat orang-orang di sekelilingnya memandangnya ganjil, Nedena dianggap tidak waras.
Masa kanak-kanak Nedena yang seharusnya penuh ceria terampas oleh trauma tersebut. Nedena menjadi anak yang selalu murung, pendiam dan tidak bereaksi ketika orang-orang di sekelilingnya mengajaknya berbicara. Perlakuan orang-orang disekitar Nedena tidak membantu Nedena menyembuhkan traumanya, sebaliknya mereka malah mencemooh Nedena dan menyebutnya gila. Bibi yang mengasuh Nedena setelah mamanya meninggal pun tak menunjukkan sikap kasih sayangnya terhadap Nedena. Perlakuan-perlakuan tidak menyenangkan tersebut membuat Nedena semakin tenggelam dalam trauma-trauma yang membuatnya mengalami ketegangan di dalam kepribadiannya.
2. Depresi
Depresi bukan sekedar suatu keadaan sedih, bila kondisi depresi seseorang sampai menyebabkan terganggunya aktivitas sosial sehari-harinya. Gejala gangguan depresi adalah perasaan sedih, rasa lelah yang berlebihan setelah aktivitas rutin yang biasa, hilang minat dan semangat, malas beraktivitas, dan gangguan pola tidur. Depresi merupakan salah satu penyebab utama kejadian bunuh diri. Depresi merupakan salah satu bentuk perilaku abnormal manusia. Akibat trauma peristiwa kebakaran yang menimpa mamanya, Nedena mengalami depresi. Depresi yang dialami Nedena memicu berkembangnya beberapa gangguan kejiwaan dalam kepribadainnya, diantaranya adalah:
a. Gangguan Depresi Mayor Akut
Perilaku abnormal depresi mayor akut termasuk dalam gangguan psikosis tingkat berat. Gangguan ini mempengaruhi seluruh kepribadian penderita. Biasanya penderita depresi ini kehilangan kontak dengan realitas. Menurut Supratiknya, gangguan depresi mayor akut merupakan salah satu jenis gangguan psikosis afektif. Para penderitanya memiliki ciri-ciri berangsur-angsur menjadi tidak aktif, cenderung mengisolasi diri, tidak mau berbicara dan sangat lamban memberikan respon, merasa bersalah dan tidak berharga, serta serba menuduh atau mempersalahkan diri, gelisah, senang mondar-mandir dan meremas-remas tangan, merasa bertanggung jawab atas aneka bencana atau musibah yang terjadi dalam masyarakat, merasa telah berbuat aneka dosa yang membuat celaka orang lain, merasa bahwa otak atau bagian-bagian lain tubuhnya lenyap, putus asa, kadang-kadang disertai halusinasi (Supratiknya, 1995: 69) .
Beberapa prilaku Nedena yang menunjukan gangguan depresi mayor akut adalah Nedena mengisolasi diri, tidak mau berbicara dan sangat lamban memberikan respons. Nedena menarik diri dari pergaulan dan kehidupannya. Dia hanya mau berkomunikasi dengan Michail hanya untuk mengurangi perasaan cemasnya terhadap suatu hal. Nedena juga senang menyendiri, jika dia mendengar suara berisik pasti dia akan merasakan kecemasan karena teringat akan suatu hal yang nampaknya membuatnya trauma. Nedena juga cenderung sering melamun dan berfantasi tentang hal-hal yang serba tidak realistik, seperti warna langit yang tidak lazim, melamunkan keadaan neraka dan surga yang berbeda dari kepercayaan orang pada umumnya, dan lain sebagainya. Nedena juga sangat lamban dalam memberikan respons, berikut beberapa kutipan yang memperkuat pernyataan di atas.
“Anak ini bereaksi ketika bibinya membelainya. Reaksi yang dingin sekali, hanya badannya bergerak seperti mengucapkan selamat tinggal, tapi juga seperti bukan. Dia melengos tidak marah, tidak pula sedih, atau gembira. Apa dia tidak punya emosi?” (Sartika, 2006: 26)
“Kenapa anak ini tidak bereaksi senang ketika saya menunjukkan gambar anak saya padanya. Dia tampak tetap tak acuh. Lalu saya melihat dia mengangkat kedua tangnnya mengatup mulutnya dengan kedua tangannya, dan matanya membulat. Saya sempat berpikir dia autis, seperti anak laki-laki saya.” (Sartika, 2006: 28)
Nedena selalu merasa bersalah atas kematian mamanya. Dia merasa sangat berdosa karena telah mencelakakan ibunya. Dia merasa putus asa karena perasaan bersalah yang selalu menyelimutinya. Di bawah ini adalah kutipan yang dapat menyimpulkan bahwa Nedena selalu merasa bersalah atas kematian mamanya.
“Saya menarik nafas dengan berat. Rasanya atmosfer di ruangan ini semakin terasa sesak. “Itu bukan salahmu Nedena. Kebakaran itu bukan salahmu!
Nedena mengangkat wajahnya yang sudah mulai bersimbah air mata.
Tidak semuanya salahmu!
Benarkah? Tanyanya ragu, ketakutan masih berbayang pada dua bola mata bening dan hitam itu.
Ya. Api membesar di luar kontrol. Itu bukan salahmu!
Tapi, Nedena membuat mama meninggal!
Bukan kamu, Sayang, tapi api telah membuat mamamu meninggal!
Tapi Nedena yang menyalakan api….
Ya. Nedena yang menyalakan api, tapi mengunci diri dari kenyataan tidak membuat mamamu hidup lagi.” (Sartika, 2006: 191) .
Tokoh Nedena dalam novel Dadaisme selalu mengalami halusinasi untuk berkomunikasi dengan Michail. Selain menutup diri dari kehidupan realitasnya atau mengisolasi diri, dia juga selalu merasa bersalah atas kematian mamanya. Nedena juga lamban dalam memeberikan respon, baik melalui ekspresi wajah apalagi dalam bentuk ungkapan. Bahkan semenjak mamanya meninggal dia tidak mau lagi berkomunikasi dengan orang-orang di sekelilingnya.
b. Gangguan Skizofrenia
Perilaku Nedena memiliki kesamaan dengan cirri-ciri penderita skizofrenia jenis subtipe stupor, yaitu kehilangan semangat hidup dan senang diam dalam posisi kaku tertentu sambil membisu dan menatap dengan pandangan kosong, seperti dalam kutipan berikut ini.
“Saya tidak mengerti, sesaat anak ini tersenyum, lalu mendadak berubah garang. Dia meloncat mendekat ke arah lukisan tersebut. Kedua tangan mungilnya dilipat ke belakang dan dia menengadahkan kepalanya, menatap lukisan tersebut, lama memandanginya”. (Sartika, 2006: 25) .
Seperti ciri-ciri penderita Skizofrenia pada umumnya, kendati tampak acuh tak acuh namun Nedena dapat menceritakan segala sesuatu yang berlangsung di sekitarnya meskipun Nedena hanya mampu menceritakannya kepada Michail.
“Nedena tertunduk, lalu menengadah, kemudian tertunduk lagi sebelum dia menengadah kembali. Michail, aku telah menggambarmu, dan gambarnya dilihat Ibu Aleda. Dia berkata ingin mengenalmu.” (Sartika, 2006: 175) .
Di lihat dari gejalanya, Nedena mengalami skizofrenia negatif, yaitu berupa tindakan yang tidak membawa dampak merugikan bagi lingkungannya, seperti mengurung diri di kamar, melamun, menarik diri dari pergaulan, dan sebagainya. Secara psikologis, mungkin penderita skizofrenia pernah mengalami trauma psikis pada waktu kecil atau salah asuhan. Menurut Supratiknya, penderita skizofrenia biasanya mengalami gangguan berpikir dan sering memiliki khayalan serta halusinasi. Seringkali halusinasi mengarahkan tindakan penderita, memperingatkan tentang suatu bahaya atau memberitahu dia apa yang harus dilakukan. Bahkan tidak jarang penderita skizofrenia senang bercakap-cakap dengan para tokoh yang muncul dalam halusinasi ini (Supratiknya, 1995: 71) .
3. Halusinasi dan Bunuh Diri
a. Halusinasi
Halusinasi merupakan gangguan persepsi dimana penderita mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indra tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu persepsi melalui pancaindra tanpa stimulus eksteren atau persepsi palsu. Nedena mengalami halusinasi semenjak peristiwa kebakaran yang menewaskan mamanya. Munculnya halusinasi dalam kejiwaan Nedena merupakan penyaluran neurosis yang dialami Nedena sebab penderita neurosis biasanya menghendaki adanya penyaluran ketidakseimbangan unsur-unsur alam batinnya. Biasanya penyaluran tersebut berupa halusinasi karena untuk menghindari kondisi yang tertekan. Halusinasi yang dialami Nedena berupa hadirnya sosok Michail, malaikat kecil bersayap satu berwarna hitam. Bulu-bulu malaikat itu selalu berguguran jika tertiup angin. Berikut kutipan yang menegaskan gambaran kondisi fisik Michail.
“Kau lihat, kan, Nedena. Sayapku cuma satu. Aku tak bisa terbang menggapai langit ketujuh. Malaikat lainnya bersayap putih, sedangkan sayapku hitam. Aku tidak akan pernah bisa menyampaikan pertanyaanmu itu ke langit.
Nedena menatap malaikat kecil di hadapannya yang sayapnya hanya satu. Tangannya meraih tangan malaikat kecil itu, lalu Nedena menatap dalam-dalam dengan roman serius ke malaikat kecil tersebut.” (Sartika, 2006: 10) .
Nedena mengalami halusinasi semenjak peristiwa kebakaran yang menewaskan mamanya terjadi. Nedena bertemu dengan Michail saat peristiwa kebakaran itu terjadi. Sejak saat itulah Nedena mulai kehilangan suaranya, dia lupa bagaimana caranya bersuara. Nedena lupa bagaimana nikmatnya mengadukan lidahnya pada langit-langit mulut, mengeluarkan aneka fonem membentuk kata menjadi kalimat yang bermakna. Kutipan yang menegaskan pertemuan Nedena dengan Michail pertama kali sebagai berikut.
“Dan Nedena terpaku karena dia melihat dalam kobaran api yang seperti melahap setiap bagian rumah menjadi debu dan puing berwarna hitam itu, muncul sosok kecil yang dilihatnya tadi, yang berkumpul dengan para malaikat yang rukuk. Hanya saja sekarang wujud itu sekarang berwarna hitam sekelam malam, sesepi kesunyian. Wujud itu pudar dengan gelapnya dan terbang mendekat pada gadis kecil yang sedang menangis. Air mata gadis kecil itu mengucur terus tiada berhenti sampai malaikat bersayap hitam itu menghapus linangan air mata itu dengan tangannya dan bulu-bulu dari sayapnya yang tampak rapuh berguguran tertiup angin hingga hilang menjadi debu yang beterbangan seperti bara api. Jangan menangis lagi…aku ada di sini, hibur malaikat bersayap satu itu pada gadis kecil yang terus menangis.
Kamu siapa? Gadis kecil itu menghentikan tangisnya. Menatap wajah sendu bersayap hitam itu, mencoba berkata-kata, tapi suaranya telah lenyap pada hampa. Gadis kecil itu panik. Dia menekan-nekan lehernya, ingin kembali menangis lagi, dan memang hanya suara tangis yang keluar dan belum berhenti.
Dan Nedena ingat, kapan dia telah kehilangan suaranya, yang telah bersembunyi di antara sekeping kesedihan dan perasaan bersalahnya” (Sartika, 2006: 180-181) .
Sejak mengalami halusinasi bertemu dengan Michail, Nedena menjadi ketergantungan dengannya. Nedena tidak ingin berpisah dengan Michail. Selalu bersama-sama dengan Michail merupakan suatu kenikmatan bagi Nedena karena dengan kehadiran Michail, Nedena dapat melupakan peristiwa kebakaran yang membuatnya trauma. Bahkan Nedena lebih memilih melupakan peristiwa kebakaran itu daripada harus berpisah dengan Michail.
b. Bunuh Diri
Salah satu penyebab orang melakukan bunuh diri biasanya terjerat oleh cara berfikir sempit dan irasional, serta tidak menyadari bahwa dirinya membutuhkan pertolongan. Cara yang populer untuk mencoba bunuh diri di kalangan kaum perempuan adalah menelan pil, sedangkan kaum lelaki biasanya memilih cara yang mematikan, yaitu seperti menggantung diri. Nedena, tokoh anak perempuan dalam novel Dadaisme yang masih berusia sepuluh tahun melakukan bunuh diri dengan cara menggantung di ruangan praktik dr.Aleda. Cara tersebut nampak maskulin karena tergolong sangat menyakitkan terlebih dilakukan oleh seorang anak-anak, seperti dalam kutipan berikut.
“Jendela terkuak lebar dan embusan angin menggoyang tubuh tergantung yang lunglai. Nedena telah menggantung leher kecilnya dengan seutas tali, menendang bangku penyangga hingga jatuh pada lantai keramik yang putih. Dan betapa tragisnya pemandangan yang ada di depan Aleda melihat pasien kecil itu gantung diri tepat di ruang praktiknya.” (Sartika, 2006: 261)
Kemaskulinan cara bunuh diri yang dilakukan Nedena dipengaruhi oleh lingkungan kehidupan Nedena yang keras seperti asuhan orang tua dan Bibi Nedena yang cenderung kasar serta perlakuan orang-orang sekitar yang merendahkan dan mencemoohnya. Menurut Supratiknya dalam buku Mengenal Prilaku Abnormal, penyebab orang melakukan bunuh diri di antaranya adalah depresi, krisis dalam hubungan interpersonal, kegagalan dan devaluasi diri, konflik batin, serta kehilangan makna dan harapan hidup (Supratiknya, 1995:103-104). Dalam hal ini, bunuh diri yang dilakukan tokoh Nedena disebabkan karena depresi. Ada indikasi bahwa sebagian besar dari orang yang berhasil melakukan bunuh diri tengah dilanda depresi pada saat tindakan tersebut dilakukan.
Dari uraian di atas, penyimpangan kejiwaan yang dialami Nedena adalah depresi dan skizofrenia yang menimbulkan halusinasi hingga pada akhirnya menyebabkan Nedena bunuh diri. Penyimpangan pada perilaku Nedena disebabkan oleh pengalaman yang tidak menyenangkan dalam kehidupannya, yaitu tidak adanya sosok ayah dalam kehidupannya. Tidak adanya sosok ayah membuat Nedena tidak dapat mentransfer perkembangan kompleks Oedipusnya kepada ayah. Nedena semakin tidak dapat menyeimbangkan kepribadiannya setelah kematian mamaya. Apalagi kematian tersebut terjadi secara tragis dan akibat kesalahannya.
2.3 Sinopsis
Novel ini menceritakan tentang seorang gadis kecil yang tinggal di sebuah kota yang meriah dan menyembunyikan kesuraman yang tidak dapat melukis langit dengan warna biru. Seorang gadis yang selalu diam dan hanya berbicara pada Michail yang hitam, malaikat kecil bersayap sebelah yang selalu muncul menemaninya. Ada gambaran yang kontras antara metropolis yang ramai dan meriah dengan keredupan kehidupan Nedena, anak perempuan sepuluh tahunan yang dianggap gila oleh bibi yang mengasuhnya, dan mendapat penanganan ahli jiwa, Aleda sebagai teks konkritnya.
Nedena dilahirkan dari rahim seorang ibu yang bernama Yusna. Sosok Nedena sendiri dapat dilihat sebagai transformasi diri Yusna yang terpaksa merantau, terputus hubungan dengan keluarga yang tidak mau menerimanya lagi karena pelanggaran moral yang juga berarti pelanggaran adat dan agama. Bagi Yusna, Nedena adalah bentuk konkrit dari dosa yang sudah dilakukan sehingga muncul kemenduaan perasaan terhadap anaknya itu, rasa kasihan dan benci sekaligus. Penundaan terhadap keinginan Nedena untuk memiliki mainan berwarna biru adalah efek dari perasaan demikian yang membuat Nedena akhirnya bermain dengan warna biru api.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Faktor utama yang melatarbelakangi gangguan kejiwaan yang dialami Nedena adalah tidak adanya sosok ayah yang mampu menggantikan objek cintanya (kompleks Oedipus), ditambah trauma atas kebakaran di rumahnya hingga menewaskan Ibu kandungya. Jika teringat kejadian tersebut Nedena merasa tertekan karena kesepian dan terlalu merasa bersalah, karena kebakaran tersebut dipicu oleh api yang dia sulut. Untuk menghindari perasaan cemas dan melindungi dirinya dari dunia luar, Nedena kemudian membentengi diri dengan menarik diri dari lingkungan sosial atau kehidupan realitasnya.
Adapun macam-macam gangguan jiwa yang dialami Nedena adalah terjadinya gangguan skizofrenia, halusinasi, dan depresi .
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu. 1985. Psikologi Sosial. Jakarta: PT. Gramedia
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Penelitian Sastra, Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sardjono, Petrus. 1982. Psikologi Kepribadian. Jakarta: CV. Rajawali
Sartika, Dewi. 2006. Dadaisme. Jakarta: Grasindo
Supratiknya, A. 1995. Mengenal Perilaku Abnormal. Yogyakarta: Kanisius
Dwi, Andika Darussalam, 23 Desember 2010, Psikologi Sastra, http://andhikaunysastraindonesia.blogspot.com/2010/12/psikologi-sastra.html, di akses 19 Desember 2011
Moestika's, 26 Desember 2010, Kajian Sosiologi Sastra, http://firdamustikawati.blogspot.com/2010/12/sosiokultural-novel-dadaisme-karya-dewi.html, di akses 19 Desember 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar