Sosiolinguistik
adalah cabang linguistik yang mengkaji hubungan antara bahasa dan masyarakat
penuturnya. Ilmu ini merupakan kajian kontekstual terhadap variasi penggunaan
bahasa masyarakat dalam sebuah komunikasi yang alami.
Variasi dalam
kajian ini merupakan masalah pokok yang dipengaruhi atau mempengaruhi perbedaan
aspek sosiokultural dalam masyarakat. Kelahiran Sosiolinguistik merupakan buah
dari perdebatan panjang dan melelahkan dari berbagai generasi dan aliran.
Puncak ketidakpuasan kaum yang kemudian menamakan diri sosiolinguis ini sangat
dirasakan ketika aliran Transformasional yang dipelopori Chomsky tidak mengakui
realitas sosial yang sangat heterogen dalam masyarakat. Oleh Chomsky dan
pengikutnya ini, heterogenitas berupa status sosial yang berbeda, umur, jenis
kelamin, latar belakang suku bangsa, pendidikan, dan sebagainya diabaikan
sebagai faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan pilihan-pilihan
berbahasa. Berpijak dari paradigma ini Sosiolinguistik berkembang ke arah studi
yang memandang bahwa bahasa tidak dapat dijelaskan secara memuaskan tanpa
melibatkan aspek-aspek sosial yang mencirikan masyarakat.
Istilah sosiolinguistik sendiri sudah digunakan oleh
Haver C. Curie dalam sebuah artikel yang terbit tahun 1952, judulnya “A
Projection of Sociolinguistics: the relationship of speech to social status” yang
isinya tentang masalah yang berhubungan dengan ragam bahasa seseorang dengan
status sosialnya dalam masyarakat. Kelompok-kelompok yang berbeda profesi atau
kedudukannya dalam masyarakat cenderung menggunakan ragam bahasa yang berbeda
pula.
Dari pengantar ilmu sosiolinguistik tersebut, beberapa
ahli berpendapat tentang studi hal tersebut. Diantaranya:
1. Abdul Chaer
(2004:2) berpendapat bahwa intinya sosiologi itu adalah kajian yang objektif
mengenai manusia di dalam masyarakat, mengenai lembaga-lembaga, dan proses
sosial yang ada di dalam masyarakat, sedangkan pengertian linguistik adalah
bidang ilmu yang mempelajari bahasa atau bidang ilmu yang mengambil bahasa
sebagai objek kajiannya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Sosiolinguistik
adalah bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan
penggunaan bahasa itu di dalam masyarakat.
2. Sumarsono
(2007:2) mendefinisikan Sosiolinguistik sebagai linguistik institusional yang
berkaitan dengan pertautan bahasa dengan orang-orang yang memakai bahasa itu.
Maksud dari penjelasan tersebut pada dasarnya menyatakan.
3. Rafiek (2005:1)
mendefinisikan sosiolinguistik sebagai studi bahasa dalam pelaksanaannya itu
bermaksud/bertujuan untuk mempelajari bagaimana konvensi-konvensi tcntang
relasi penggunaan bahasa untuk aspek-aspek lain tcntang perilaku social.
4. Booiji
(Rafiek, 2005:2) mendefinisikan sosiolinguistik sebagai cabang linguistik yang
mempelajari faktor-faktor sosial yang berperan dalam pemakaian bahasa dan yang
berperan dalam pergaulan.
5. Wijana
(2006:7) berpendapat bahwa sosiolinguistik merupakan cabang linguistik yang memandang
atau menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakai bahasa itu
di dalam masyarakat. Pendapat tersebut pada intinya berpegang pada satu
kenyalaan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat manusia tidak lagi sebagai
individu, akan tetapi sebagai masyarakat sosial.
6. menurut Fishman (1972) , Sosiolinguistics is the study
of the caracteristics of language varieties, the carakteristics of their
functions,and the characteristics of their speakers as these three constlantly
interact, change and change one another within a speech community, (
Sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi–fungsi
variasi bahasa, dan pemakai bahasa karena ketiga unsur ini selalu berinteraksi,
berubah, dan saling mengubah satu sama lain dalam satu masyarakat.
7. Nababan, mengatakan bahwa sosiolinguistik merupakan
pengkajian bahasa dengan dimensi kemasyarakatan.
8. Wikipedia,
Sosiolinguistik adalah kajian interdisipliner yang mempelajari pengaruh budaya
terhadap cara suatu bahasa digunakan. Dalam hal ini bahasa
berhubungan erat dengan masyarakat suatu wilayah sebagai subyek atau
pelaku berbahasa sebagai alat komunikasi dan interaksi antara kelompok yang
satu dengan yang lain.
9. Fasold (1993: ix) mengemukakan bahwa inti sosiolinguistik
tergantung dari dua kenyataan. Pertama, bahasa bervariasi yang
menyangkut pilihan bahasa-bahasa bagi para pemakai bahasa. Kedua, bahasa
digunakan sebagai alat untuk menyampaikan informasi dan pikiran-pikiran dari
seseorang kepada orang lain.
10. Sosiolinguistics is a developing
subfield of linguistics which takes speech variation as it’s focus , viewing variation
or it social context. Sociolinguistics is concerned with the correlation
between such social factors and linguistics variation. ( Sosiolinguistik adalah
pengembangan sub bidang yang memfokuskan penelitian pada variasi ujaran , serta
mengkajinya dalam suatu konteks social . Sosiolinguistik meneliti korelasi
antara factor-faktor social itu dengan variasi bahasa. (Nancy Parrot Hickerson
1980:81).
Dari definisi-definisi di atas maka dapat disimpulkan
bahwa Sosiolimguistik adalah cabang ilmu linguistic yang bersifat
interdisipliner dengan ilmu sosiologi , dengan objek penelitian hubungan antara
bahasa dengan factor-faktor social di dalam suatu masyarakat tutur. Atau lebih
secara operasional lagi seperti dikatakan Fishman (1972,1976) , …study of who
speak what language to whom and when”.
Ruang lingkup kajian sosiolinguistik
:
Kajian
sosiolinguistik meliputi komunikasi dan
masyarakat bahasa, variasi bahasa, bilingualisme dan diglosia, interferensi dan
integrasi bahasa, dialeg, sikap bahasa, perencanaan bahasa.
Tujuan
mempelajari sosiolinguistik :
Menjelaskan pengaruh masyarakat terhadap bahasa.
Manfaat
mempelajari sosiolinguistik :
Memberikan pengetahuan tentang bagaimana kita menggunakan
bahasa dalam aspek dan konteks sosial tertentu.
I.2 Alih kode dan Campur kode
A.
Pengertian KodeIstilah kode dipakai untuk menyebut salah satu varian di dalam hierarki kebahasaan, sehingga selain kode yang mengacu kepada bahasa (seperti bahasa Inggris, Belanda, Jepang, Indonesia), juga mengacu kepada variasi bahasa, seperti varian regional (bahasa Jawa dialek Banyuwas, Jogja-Solo, Surabaya), juga varian kelas sosial disebut dialek sosial atau sosiolek (bahasa Jawa halus dan kasar), varian ragam dan gaya dirangkum dalam laras bahasa (gaya sopan, gaya hormat, atau gaya santai), dan varian kegunaan atau register (bahasa pidato, bahasa doa, dan bahasa lawak)
Kenyataan seperti di atas menunjukkan bahwa hierarki kebahasaan dimulai dari bahasa/language pada level paling atas disusul dengan kode yang terdiri atas varian, ragam, gaya, dan register.
B. Alih Kode
Alih kode (code switching) adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang lain. Misalnya penutur menggunakan bahasa Indonesia beralih menggunakan bahasa Jawa. Alih kode merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa (languagedependency) dalam masyarakat multilingual. Dalam masyarakat multilingual sangat sulit seorang penutur mutlak hanya menggunakan satu bahasa. Dalam alih kode masing-masing bahasa masih cenderung mengdukung fungsi masing-masing dan dan masing-masing fungsi sesuai dengan konteksnya. Appel memberikan batasan alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena perubahan situasi.
Suwito (1985) membagi alih kode menjadi dua, yaitu
1. alih
kode ekstern : bila alih bahasa, seperti
dari bahasa Indonesia beralih ke bahasa Inggris atau sebaliknya dan
2. alih
kode intern : bila alih kode berupa alih
varian, seperti dari bahasa Jawa ngoko merubah ke krama.
Beberapa faktor yang menyebabkan
alih kode adalah:
1. Penutur
1. Penutur
seorang penutur kadang dengan sengaja
beralih kode terhadap mitra
tutur
karena suatu tujuan. Misalnya mengubah situasi dari resmi
menjadi
tidak resmi atau sebaliknya.
2.
Mitra Tutur
mitra
tutur yang latar belakang kebahasaannya sama dengan penutur
biasanya
beralih kode dalam wujud alih varian dan bila mitra tutur
berlatar
belakang kebahasaan berbeda cenderung alih kode berupa
alih
bahasa.
3.
Hadirnya Penutur Ketiga
untuk
menetralisasi situasi dan menghormati kehadiran mitra tutur
ketiga,
biasanya penutur dan mitra tutur beralih kode, apalagi bila
latar
belakang kebahasaan mereka berbeda.
4.
Pokok Pembicaraan
Pokok
Pembicaraan atau topik merupakan faktor yang dominan dalam
menentukan
terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan yang bersifat
formal biasanya diungkapkan dengan
ragam baku , dengan gaya netral
dan serius dan pokok pembicaraan yang
bersifat informal disampaikan
dengan bahasa takbaku, gaya sedikit emosional,
dan serba seenaknya.
5. Untuk membangkitkan rasa humor
biasanya dilakukan dengan alih
varian, alih ragam, atau alih gaya
bicara.
6. Untuk sekadar bergengsi
walaupun faktor situasi, lawan
bicara, topik, dan faktor sosio
situasional tidak mengharapkan
adanya alih kode, terjadi alih kode,
sehingga tampak adanya pemaksaan,
tidak wajar, dan cenderung
tidak komunikatif.
C.
Campur Kode
Campur kode (code-mixing) terjadi
apabila seorang penutur
menggunakan
suatu bahasa secara dominan mendukung suatu
tuturan
disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya
berhubungan
dengan karakteristk penutur, seperti latar belakang sosil,
tingkat
pendidikan, rasa keagamaan. Biasanya ciri menonjolnya
berupa
kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi karena
keterbatasan
bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada
padanannya,
sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain,
walaupun hanya mendukung satu fungsi.
Campur kode termasuk juga
konvergense
kebahasaan (linguistic convergence).
Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Campur kode ke dalam (innercode-mixing):
Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Campur kode ke dalam (innercode-mixing):
Campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala
Variasinya
2. Campur
kode ke luar (outer code-mixing): campur kode yang
berasal dari bahasa asing.
Latar belakang terjadinya campur kode dapat digolongkan menjadi dua, yaitu
1. sikap (attitudinal type) : latar belakang sikap penutur
2. kebahasaan(linguistik type) : latar belakang keterbatasan bahasa, sehingga ada alasan identifikasi peranan, identifikasi ragam, dan keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan.
Dengan demikian campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antaraperanan penutur, bentuk bahasa, dan fungsi bahasa.
Beberapa wujud campur kode,
1. penyisipan kata,
2. menyisipan frasa,
3. penyisipan klausa,
4. penyisipan ungkapan atau idiom, dan
5. penyisipan bentuk baster (gabungan pembentukan asli dan asing).
I.3 Persamaan dan Perbedaan Alih Kode dan Campur Kode
Persamaan alih kode dan campur kode adalah kedua peristiwa ini lazin terjadi dalam masyarakat multilingual dalam menggunakan dua bahasa atau lebih. Namun terdapat perbedaan yang cukup nyata, yaitu alih kode terjadi dengan masing-masing bahasa yang digunakan masih memiliki otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan disengaja, karena sebab-sebab tertentu sedangkan campur kode adalah sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan memiliki fungsi dan otonomi, sedangkan kode yang lain yang terlibat dalam penggunaan bahasa tersebut hanyalah berupa serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi dan otonomi sebagai sebuah kode. Unsur bahasa lain hanya disisipkan pada kode utama atau kode dasar. Sebagai contoh penutur menggunakan bahasa dalam peristiwa tutur menyisipkan unsur bahasa Jawa, sehingga tercipta bahasa Indonesia kejawa-jawaan. Thelander membedakan alih kode dan campur kode dengan apabila dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain disebut sebagai alih kode. Tetapi apabila dalam suatu periswa tutur klausa atau frasa yang digunakan terdiri atas kalusa atau frasa campuran (hybrid cluases/hybrid phrases) dan masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsinya sendiri disebut sebagai campur kode.
Latar belakang terjadinya campur kode dapat digolongkan menjadi dua, yaitu
1. sikap (attitudinal type) : latar belakang sikap penutur
2. kebahasaan(linguistik type) : latar belakang keterbatasan bahasa, sehingga ada alasan identifikasi peranan, identifikasi ragam, dan keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan.
Dengan demikian campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antaraperanan penutur, bentuk bahasa, dan fungsi bahasa.
Beberapa wujud campur kode,
1. penyisipan kata,
2. menyisipan frasa,
3. penyisipan klausa,
4. penyisipan ungkapan atau idiom, dan
5. penyisipan bentuk baster (gabungan pembentukan asli dan asing).
I.3 Persamaan dan Perbedaan Alih Kode dan Campur Kode
Persamaan alih kode dan campur kode adalah kedua peristiwa ini lazin terjadi dalam masyarakat multilingual dalam menggunakan dua bahasa atau lebih. Namun terdapat perbedaan yang cukup nyata, yaitu alih kode terjadi dengan masing-masing bahasa yang digunakan masih memiliki otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan disengaja, karena sebab-sebab tertentu sedangkan campur kode adalah sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan memiliki fungsi dan otonomi, sedangkan kode yang lain yang terlibat dalam penggunaan bahasa tersebut hanyalah berupa serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi dan otonomi sebagai sebuah kode. Unsur bahasa lain hanya disisipkan pada kode utama atau kode dasar. Sebagai contoh penutur menggunakan bahasa dalam peristiwa tutur menyisipkan unsur bahasa Jawa, sehingga tercipta bahasa Indonesia kejawa-jawaan. Thelander membedakan alih kode dan campur kode dengan apabila dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain disebut sebagai alih kode. Tetapi apabila dalam suatu periswa tutur klausa atau frasa yang digunakan terdiri atas kalusa atau frasa campuran (hybrid cluases/hybrid phrases) dan masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsinya sendiri disebut sebagai campur kode.
Sebelum
kita mengetahui mengenai hakekat alih kode dan campur kode, kita harus lebih
paham benar konsep kode tersebut. Kode disini bukanlah kode yang mengarah ke
unsur bahasa secara perspektif melainkan kode disini ialah varian yang terdapat
dalam bahasa tersebut. Varian disini yang dimasudkan ialah tingkat-tingkat,
gaya cerita dan gaya percakapan. Ada beberapa definisi hakekat mengenai alih
kode tersebut, Scotton menganggap bahwa alih kode merupakan penggunaan dua varian
atau varietas linguistik atau lebih dalam percakapan atau interaksi yang sama.
Sedangkan Nababan berasumsi konsep alih kode ini mencakup juga kejadian di mana
kita beralih dari satu ragam fungsiolek ke ragam lain atau dari satu dialek ke
dialek yang lain. Sebagaimana kita bisa mencontohkan perlaihan yang terjadi
dalam bahasa daerah ke bahasa Indonesia atau sebaliknya, atau mungkin dari
ragam resmi ke ragam yang tidak resmi atau sebaliknya. Dari contoh tersebut
dapat kita tarik garis lurus, bahwa alih kode merupakan peralihan kode bahasa
dalam satu peristiwa komunikasi verbal. Pola alih kode dapat kita bagi menjadi
dua yanitu berdasar linguistik maupun partisipan. Pola linguistik terdapat pola
alih kode intrabahasa, yang dalam pola itu terjadi pada varian dalam satu
bahasa. Sedangkan yang kedua ialah pola alih kode antarbahasa, dalam pola ini
pilihan kode beralih dari varian suatu bahasa ke bahasa lain. Jika dilihat dari
partisipan dapat dibagi menjadi dua kembali yakni dimensi intrapartisipan dan
dimensi antarpartisipan. Faktor yang mengakibatkan terjadinya alih bahasa
sosial, individu dan topik. Faktor sosial dapat kita pilah antara penggunaan
bahasa partisipan dan status sosial. Faktor individu seperti yang dikemukakan
oleh Wojowasito dilandasi oleh spontanitas, emosi dan kesiapan, yang dimaksud
kesiapan disini ialah kesiapan perbendaharaan kata dan kesiapan pola kalimat.
Menurut
Fasold campur kode ialah fenomena yang lebih lembut daripada fenomena alih
kode. Dalam campur kode terdapat serpihan-serpihan suatu bahasa yang digunakan
oleh seorang penutur, tetapi pada dasarnya dia menggunakan satu bahasa yang
tertentu. Serpihan disini dapat berbentuk kata, frasa atau unit bahasa yang
lebih besar. Campur kode memiliki ciri-ciri yakni tidak ditentukan oleh pilihan
kode, tetapi berlangsung tanpa hal yang menjadi tuntutan seseorang untuk
mencampurkan unsur suatu varian bahasa ke dalam bahasa lain, campur kode
berlaku pada bahasa yang berbeda, terjadi pada situasi yang informal, dalam
situasi formal terjadi hanya kalau tidak tersedia kata atau ungkapan dalam
bahasa yang sedang digunakan. Perbedaan antara alih kode dengan campur kode
ialah pertam alih kode itu mengarah pada terjemahan dan padanan istilah code
switching, sedangkan campur kode merupakan terjemahan dan padanan istilah kode
mixing dalam bahasa Inggris. Kedua dalam alih kode ada kondisi yang menuntut
penutur beralih kode, dan hal itu menjadi kesadaran penutur, sedangkan campur
kode terjadi tanpa ada kondisi yang menuntut pencampuran kode itu. Dan ketiga pada
alih kode penutur menggunakan dua varian baik dalam bahasa yang sama maupun
dalam bahasa yang berbeda. Pada campur kode yang terjadi bukan peralihan kode,
tetapi bercampurnya unsur suatu kode ke kode yang sedang digunakan oleh
penutur.
I.4 Interferensi dan
Integrasi A. Interferensi
Alwasilah
(1985:131) mengetengahkan pengertian interferensi berdasarkan rumusan Hartman
dan Stonk bahwa interferensi merupakan kekeliruan yang disebabkan oleh adanya
kecenderungan membiasakan pengucapan (ujaran) suatu bahasa terhadap bahasa lain
mencakup pengucapan satuan bunyi, tata bahasa, dan kosakata. Sementara itu,
Jendra (1991:109) mengemukakan bahwa interferensi meliputi berbagai aspek
kebahasaan, bisa menyerap dalam bidang tata bunyi (fonologi), tata bentukan
kata (morfologi), tata kalimat (sintaksis), kosakata (leksikon), dan tata makna
(semantik) (Suwito,1985:55).
Interferensi,
menurut Nababan (1984), merupakan kekeliruan yang terjadi sebagai akibat
terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa
atau dialek kedua. Senada dengan itu, Chaer dan Agustina (1995: 168)
mengemukakan bahwa interferensi adalah peristiwa penyimpangan norma dari salah
satu bahasa atau lebih. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, interferensi
ialah Masuknya unsur suatu bahasa ke dalam bahasa lain yg mengakibatkan
pelanggaran kaidah bahasa yg dimasukinya baik pelanggaran kaidah fonologis,
gramatikal, leksikal maupun semantis.
Untuk memantapkan pemahaman
mengenai pengertian interferensi, berikut ini akan diketengahkan pokok-pokok
pikiran para ahli dibidang sisiolinguistik yang telah mendefinisikan peristiwa
ini.Menurut pendapat Chaer (1998:159) interferensi pertama kali digunakan oleh Weinrich untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Interferensi mengacu pada adanya penyimpangan dalam menggunakan suatu bahasa dengan memasukkan sistem bahasa lain. Serpihan-serpihan klausa dari bahasa lain dalam suatu kalimat bahasa lain juga dapat dianggap sebagai peristiwa interferensi. Sedangkan, menurut Hartman dan Stonk dalam Chair (1998:160) interferensi terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa atau dialek kedua.
Abdulhayi (1985:8) mengacu pada pendapat Valdman (1966) merumuskan bahwa interferensi merupakan hambatan sebagai akibat adanya kebiasaan pemakai bahasa ibu (bahasa pertama) dalam penguasaan bahasa yang dipelajari (bahasa kedua). Sebagai konsekuensinya, terjadi transfer atau pemindahan unsur negatif dari bahasa ibu ke dalam bahasa sasaran.
Pendapat lain mengenai interferensi dikemukakan oleh Alwasilah (1985:131) mengetengahkan pengertian interferensi berdasarkan rumusan Hartman dan Stonk, bahwa interferensi merupakan kekeliruan yang disebabkan oleh adanya kecenderungan membiasakan pengucapan (ujaran) suatu bahasa terhadap bahasa lain mencakupi pengucapan satuan bunyi, tata bahasa dan kosakata. Suhendra Yusuf (1994:67) menyatakan bahwa faktor utama yang dapat menyebabkan interferensi antara lain perbedaan antara bahasa sumber dan bahasa sasaran. Perbedaan itu tidak hanya dalam struktur bahasa melainkan juga keragaman kosakata.
Pengertian lain dikemukakan oleh Jendra (1995:187) menyatakan bahwa interferensi sebagai gejala penyusupan sistem suatu bahasa ke dalam bahasa lain. Interferensi timbul karena dwibahasawan menerapkan sistem satuan bunyi (fonem) bahasa pertama ke dalam sistem bunyi bahasa kedua sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan atau penyimpangan pada sistem fonemik bahasa penerima.
Interferensi merupakan gejala perubahan terbesar, terpenting dan paling dominan dalam perkembangan bahasa. Dalam bahasa besar, yang kaya akan kosakata seperti bahasa Inggris dan Arab pun, dalam perkembangannnya tidak dapat terlepas dari interferensi, terutama untuk kosakata yang berkenaan dengan budaya dan alam lingkungan bahasa donor. Gejala interferensi dari bahasa yang satu kepada bahasa yang lain sulit untuk dihindari. Terjadinya gejala interferensi juga tidak lepas dari perilaku penutur bahasa penerima.
Menurut Bawa (1981: 8), ada tiga ciri pokok perilaku atau sikap bahasa. Ketiga ciri pokok sikap bahasa itu adalah (1) language loyality, yaitu sikap loyalitas/ kesetiaan terhadap bahasa, (2) language pride, yaitu sikap kebanggaan terhadap bahasa, dan (3) awareness of the norm, yaitu sikap sadar adanya norma bahasa. Jika wawasan terhadap ketiga ciri pokok atau sikap bahasa itu kurang sempurna dimiliki seseorang, berarti penutur bahasa itu bersikap kurang positif terhadap keberadaan bahasanya. Kecenderungan itu dapat dipandang sebagai latar belakang munculnya interferensi.
Dari segi kemurnian bahasa, interferensi pada tingkat apa pun (fonologi, morfologi dan sintaksis) merupakan penyakit yang merusak bahasa, jadi perlu dihindari (Chaer dan Agustina (1998: 165)
Jendra (1991:105) menyatakan bahwa dalam interferensi terdapat tiga unsur pokok, yaitu bahasa sumber atau bahasa donor, yaitu bahasa yang menyusup unsur-unsurnya atau sistemnya ke dalam bahasa lain; bahasa penerima atau bahasa resipien, yaitu bahasa yang menerima atau yang disisipi oleh bahasa sumber; dan adanya unsur bahasa yang terserap (importasi) atau unsur serapan.
Dalam komunikasi bahasa yang menjadi sumber serapan pada saat tertentu akan beralih peran menjadi bahasa penerima pada saat yang lain, dan sebaliknya. Begitu juga dengan bahasa penerima dapat berperan sebagai bahasa sumber. Dengan demikian interferensi dapat terjadi secara timbal balik.
Bertolak dari pendapat para ahli mengenai pengertian interferensi di atas, dapat disimpulkan bahwa.
- kontak
bahasa menimbulkan gejala interferensi dalam tuturan dwibahasawan.
- interferensi
merupakan gejala penyusupan sistem suatu bahasa ke dalam bahasa lain
- unsur
bahasa yang menyusup ke dalam struktur bahasa yang lain dapat menimbulkan
dampak negatif, dan
- interferensi
merupakan gejala ujaran yang bersifat perseorangan, dan ruang geraknya
dianggap sempit yang terjadi sebagai gejala parole (speech).
Suwito (1983:54), seperti halnya Jendra juga memandang bahwa interferensi pada umumnya dianggap sebagai gejala tutur (speech, parole), hanya terjadi pada dwibahasawan dan peristiwanya dianggap sebagai penyimpangan. Interferensi dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu terjadi karena unsur-unsur serapan yang sebenarnya telah ada padanannya dalam bahasa penyerap, sehingga cepat atau lambat sesuai dengan perkembangan bahasa penyerap, diharapkan makin berkurang atau sampai batas yang paling minim.
Interferensi merupakan gejala perubahan terbesar, terpenting dan paling dominan dalam bahasa (Hockett dalam Suwito, 1983:54). Dari pendapat hockett tersebut perlu dicermati bahwa gejala kebahasaan ini perlu mendapatkan perhatian besar. Hal ini disebabkan interferensi dapat terjadi di semua komponen kebahasaan, mulai bidang tatabunyi, tatabentuk, tatakalimat, tatakata, dan tatamakna Berdasarkan hal tersebut dapat dijelaskan bahwa dalam proses interferensi ada tiga hal yang mengambil peranan, yaitu:
- bahasa sumber atau bahasa donor
- bahasa penyerap atau resipien
- unsur serapan atau importasi
Interferensi dalam bidang fonologi
Contoh : jika penutur bahasa Jawa mengucapkan kata-kata berupa nama tempat yang berawal bunyi /b/, /d/, /g/, dan /j/, misalnya pada kata
Interferensi dalam bidang morfologi
Interferensi morfologi dipandang oleh para ahli bahasa sebagai interferensi yang paling banyak terjadi.Interferensi ini terjadi dalam pembentuka kata dengan menyerap afiks-afiks bahasa lain. Misalnya kalau sering kali kita mendengar ada kata kepukul, ketabrak, kebesaran, kekecilan, kemahalan, sungguhan, bubaran, duaan. Bentuk-bentuk tersebut dikatakan sebagai bentuk interferensi karena bentuk-bentuk tersebut sebenarnya ada bentuk yang benar, yaitu terpukul, tertabrak, terlalu besar, terlalu kecil, terlalu mahal, kesungguhan, berpisah (bubar), dan berdua.Berdasarkan data-data di atas jelas bahwa proses pembentukan kata yang disebut interferensi morfologi tersebut mempunyai bentuk dasar berupa kosa kata bahasa Indonesia dengan afiks-sfiks dari bahasa daerah atau bahasa asing.
Interferensi dalam bentuk kalimat
Interferensi dalam bidang ini jarang terjadi. Hal ini memang perlu dihindari karena pola struktur merupakan ciri utama kemandirian sesuatu bahasa. Misalnya, Rumahnya ayahnya Ali yang besar sendiri di kampung itu, atau Makanan itu telah dimakan oleh saya, atau Hal itu saya telah katakan kepadamu kemarin. Bentuk tersebut merupakan bentuk interferensi karena sebenarnya ada padanan bentuk tersebut yang dianggap lebih gramatikal yaitu: Rumah ayah Ali yang besar di kampung ini, Makanan itu telah saya makan, dan Hal itu telah saya katakan kepadamu kemarin.Terjadinya penyimpangan tersebut disebabkan karena ada padanan konteks dari bahasa donor, misalnya: Omahe bapake Ali sing gedhe dhewe ing kampung iku, dan seterusnya
Interferensi Semantik
Berdasarkan bahasa resipien (penyerap) interferensi semantis dapat dibedakan menjadi,
- Jika
interferensi terjadi karena bahasa resipien menyerap konsep kultural
beserta namanya dari bahasa lain, yang disebut sebagai perluasan
(ekspansif). Contohnya kata demokrasi, politik, revolusi yang berasal dari
bahasa Yunani-Latin.
- Yang perlu mendapat perhatian, interferensi harus
dibedakan dengan alih kode dan campur kode. Alih kode menurut Chaer dan
Agustina (1995:158) adalah peristiwa penggantian bahasa atau ragam bahasa
oleh seorang penutur karena adanya sebab-sebab tertentu, dan dilakukan
dengan sengaja. Sementara itu, campur kode adalah pemakaian dua bahasa
atau lebih dengan saling memasukkan unsur bahasa yang satu ke dalam
bahasa yang lain secara konsisten. Interferensi merupakan topik dalam
sosiolinguistik yang terjadi sebagai akibat pemakaian dua bahasa atau
lebih secara bergantian oleh seorang dwibahasawan, yaitu penutur yang
mengenal lebih dari satu bahasa. Penyebab terjadinya
interferensi adalah kemampuan penutur dalam menggunakan bahasa tertentu
sehingga dipengaruhi oleh bahasa lain (Chaer,1995:158). Biasanya
interferensi terjadi dalam penggunaan bahasa kedua, dan yang menginterferensi
adalah bahasa pertama atau bahasa ibu
Jenis Interferensi
Interferensi merupakan
gejala umum dalam sisiolinguistik yang terjadi sebagai akibat dari kontak
bahasa, yaitu penggunaan dua bahasa atau lebih dalam masyarakat tutur yang
multilingual. Hal ini merupakan suatu masalah yang menarik perhatian
para ahli bahasa. Mereka memberikan pengamatan dari sudut pandang yang berbeda
beda. Dari pengamatan para ahli tersebut timbul bermacam-macam interferensi.Secara umum, Ardiana (1940:14) membagi interferensi menjadi lima macam, yaitu
(1)
Interferensi kultural dapat tercermin melalui bahasa yang digunakan oleh
dwibahasawan. Dalam tuturan dwibahasawan tersebut muncul unsur-unsur asing
sebagai akibat usaha penutur untuk menyatakan fenomena atau pengalaman baru.
(2)
Interferensi semantik adalah interferensi yang terjadi dalam penggunaan kata
yang mempunyai variabel dalam suatu bahasa.
(3)
Interferensi leksikal, harus dibedakan dengan kata pinjaman. Kata pinjaman atau
integrasi telah menyatu dengan bahasa kedua, sedangkan interferensi belum dapat
diterima sebagai bagian bahasa kedua. Masuknya unsur leksikal bahasa pertama
atau bahasa asing ke dalam bahasa kedua itu bersifat mengganggu.
(4)
Interferensi fonologis mencakup intonasi, irama penjedaan dan artikulasi.
(5)
Interferensi gramatikal meliputi interferensi morfologis, fraseologis dan
sintaksis.
Interferensi menurut Jendra (1991:106-114) dapat dilihat dari berbagai
sudut sehingga akan menimbulkan berbagai macam interferensi antara lain:(1) Interferensi ditinjau dari asal unsur serapan
Kontak bahasa bisa terjadi antara bahasa yang masih dalam satu kerabat maupun bahasa yang tidak satu kerabat. Interferensi antarbahasa sekeluarga disebut dengan penyusupan sekeluarga (internal interference) misalnya interferensi bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa. Sedangkan interferensi antarbahasa yang tidak sekeluarga disebut penyusupan bukan sekeluarga (external interference) misalnya bahasa interferensi bahasa Inggris dengan bahasa
(2) Interferensi ditinjau dari arah unsur serapan
Komponen interferensi terdiri atas tiga unsur yaitu bahasa sumber, bahasa penyerap, dan bahasa penerima. Setiap bahasa akan sangat mungkin untuk menjadi bahasa sumber maupun bahasa penerima. Interferensi yang timbal balik seperti itu kita sebut dengan interferensi produktif. Di samping itu, ada pula bahasa yang hanya berkedudukan sebagai bahasa sumber terhadap bahasa lain atau interferensi sepihak. Interferensi yang seperti ini disebut interferensi reseptif.
(3) Interferensi ditinjau dari segi pelaku
Interferensi ditinjau dari segi pelakunya bersifat perorangan dan dianggap sebagai gejala penyimpangan dalam kehidupan bahasa karena unsur serapan itu sesungguhnya telah ada dalam bahasa penerima. Interferensi produktif atau reseptif pada pelaku bahasa perorangan disebut interferensi perlakuan atau performance interference. Interferensi perlakuan pada awal orang belajar bahasa asing disebut interferensi perkembangan atau interferensi belajar.
(4) Interferensi ditinjau dari segi bidang.
Pengaruh interferensi terhadap bahasa penarima bisa merasuk ke dalam secara intensif dan bisa pula hanya di permukaan yang tidak menyebabkan sistem bahasa penerima terpengaruh. Bila interferensi itu sampai menimbulkan perubahan dalan sistem bahasa penerima disebut interferensi sistemik. Interferensi dapat terjadi pada berbagai aspek kebahasaan antara lain, pada sistem tata bunyi (fonologi), tata bentukan kata (morfologi), tata kalimat (sintaksis), kosakata (leksikon), dan bisa pula menyusup pada bidang tata makna (semantik).
Dennes dkk. (1994:17) yang mengacu pada pendapat Weinrich mengidentifikasi interferensi atas empat, yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut.
(1) Peminjaman unsur suatu bahasa ke dalam tuturan bahasa lain dan dalam peminjaman itu ada aspek tertentu yang ditransfer. Hubungan antar bahasa yang unsur-unsurnya dipinjam disebut bahasa sumber, sedangkan bahasa penerima disebut bahasa peminjam.
(2) Penggantian unsur suatu bahasa dengan padanannya ke dalam suatu tuturan bahasa yang lain. Dalam penggantian itu ada aspek dari suatu bahasa disalin ke dalam bahasa lain yang disebut substitusi.
(3) Penerapan hubungan ketatabahasaan bahasa A ke dalam morfem bahasa B juga dalam kaitan tuturan bahasa B., atau pengingkaran hubungan ketatabahasaan bahasa B yang tidak ada modelnya dalam bahasa A.
(4) Perubahan fungsi morfem melalui jati diri antara suatu morfem bahasa B tertentu dengan morfem bahasa A tertentu, yang menimbulkan perubahan fungsi morfem bahasa B berdasarkan satu model tata bahasa A
Menurut Chair interferensi terdiri atas dua macam, yaitu (1) interferensi reseptif, yakni berupa penggunaan bahasa B dengan diresapi unsur-unsur bahasa A, dan (2) interferensi produktif, yakni wujudnya berupa penggunaan bahasa A tetapi dengan unsur bahasa B.
Jendra (1991:108) membedakan interferensi menjadi lima aspek kebahasaan, antara lain
- interferensi pada bidang sistem tata bunyi
(fonologi)
- interferensi
pada tata bentukan kata (morfologi)
- interferensi
pada tata kalimat (sintaksis)
- interferensi pada kosakata (leksikon)
- interferensi
pada bidang tata makna (semantik)
(1) Interferensi semantik perluasan (semantic expansive interference).
Istilah ini dipakai apabila terjadi peminjaman konsep budaya dan juga nama
unsur bahasa sumber.
(2) Interferensi semantik penambahan
(semantic aditif
interference). Interferensi ini terjadi apabila muncul bentuk baru
berdampingan dengan bentuk lama, tetapi bentuk baru bergeser dari makna semula.
(3) Interferensi semantik penggantian
(replasive semantic
interference). Interferensi ini terjadi apabila muncul makna konsep baru
sebagai pengganti konsep lama.
Yusuf (1994:71) membagi peristiwa interferensi menjadi empat jenis, yaitu
(1) Interferensi Bunyi (phonic interference)
Interferensi
ini terjadi karena pemakaian bunyi satu bahasa ke dalam bahasa yang lain dalam
tuturan dwibahasawan.
(2)
Interferensi tata bahasa (grammatical
interference)
Interferensi
ini terjadi apabila dwibahasawan mengidentifikasi morfem atau tata bahasa
pertama kemudian menggunakannya dalam bahasa keduanya.
(3)
Interferensi kosakata (lexical
interference)
Interferensi
ini bisa terjadi dalam berbagai bentuk, misalnya terjadi pada kata dasar,
tingkat kelompok kata maupun frasa.
(4)
Interferensi tata makna (semantic
interference)
Interferensi
ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu (a) interferensi perluasan makna, (b)
interferensi penambahan makna, dan (c) interferensi penggantian makna.
(1) mentransfer unsur suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain,
(2) adanya perubahan fungsi dan kategori
yang disebabkan oleh adanya pemindahan,
(3) penerapan unsur-unsur bahasa
kedua yang berbeda dengan bahasa pertama,
(4)
kurang diperhatikannya struktur bahasa kedua mengingat tidak ada equivalensi
dalam bahasa pertama.
I.5 Faktor Penyebab Terjadinya Interferensi Selain kontak bahasa, menurut Weinrich (1970:64-65) ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya interferensi, antara lain:
(1) Kedwibahasaan peserta tutur
Kedwibahasaan peserta tutur merupakan pangkal terjadinya interferensi dan berbagai pengaruh lain dari bahasa sumber, baik dari bahasa daerah maupun bahasa asing. Hal itu disebabkan terjadinya kontak bahasa dalam diri penutur yang dwibahasawan, yang pada akhirnya dapat menimbulkan interferensi.
2) Tipisnya kesetiaan pemakai bahasa penerima
Tipisnya kesetiaan dwibahasawan terhadap bahasa penerima cenderung akan menimbulkan sikap kurang positif. Hal itu menyebabkan pengabaian kaidah bahasa penerima yang digunakan dan pengambilan unsur-unsur bahasa sumber yang dikuasai penutur secara tidak terkontrol. Sebagai akibatnya akan muncul bentuk interferensi dalam bahasa penerima yang sedang digunakan oleh penutur, baik secara lisan maupun tertulis.
3) Tidak cukupnya kosakata bahasa penerima
Perbendaharaan kata suatu bahasa pada umumnya hanya terbatas pada pengungkapan berbagai segi kehidupan yang terdapat di dalam masyarakat yang bersangkutan, serta segi kehidupan lain yang dikenalnya. Oleh karena itu, jika masyarakat itu bergaul dengan segi kehidupan baru dari luar, akan bertemu dan mengenal konsep baru yang dipandang perlu. Karena mereka belum mempunyai kosakata untuk mengungkapkan konsep baru tersebut, lalu mereka menggunakan kosakata bahasa sumber untuk mengungkapkannya, secara sengaja pemakai bahasa akan menyerap atau meminjam kosakata bahasa sumber untuk mengungkapkan konsep baru tersebut. Faktor ketidak cukupan atau terbatasnya kosakata bahasa penerima untuk mengungkapkan suatu konsep baru dalam bahasa sumber, cenderung akan menimbulkan terjadinya interferensi.
Interferensi yang timbul karena kebutuhan kosakata baru, cenderung dilakukan secara sengaja oleh pemakai bahasa. Kosakata baru yang diperoleh dari interferensi ini cenderung akan lebih cepat terintegrasi karena unsur tersebut memang sangat diperlukan untuk memperkaya perbendaharaan kata bahasa penerima.
4) Menghilangnya kata-kata yang jarang digunakan
Kosakata dalam suatu bahasa yang jarang dipergunakan cenderung akan menghilang. Jika hal ini terjadi, berarti kosakata bahasa yang bersangkutan akan menjadi kian menipis. Apabila bahasa tersebut dihadapkan pada konsep baru dari luar, di satu pihak akan memanfaatkan kembali kosakata yang sudah menghilang dan di lain pihak akan menyebabkan terjadinya interferensi, yaitu penyerapan atau peminjaman kosakata baru dari bahasa sumber.
Interferensi yang disebabkan oleh menghilangnya kosakata yang jarang dipergunakan tersebut akan berakibat seperti interferensi yang disebabkan tidak cukupnya kosakata bahasa penerima, yaitu unsur serapan atau unsur pinjaman itu akan lebih cepat diintegrasikan karena unsur tersebut dibutuhkan dalam bahasa penerima.
5) Kebutuhan akan sinonim
Sinonim dalam pemakaian bahasa mempunyai fungsi yang cukup penting, yakni sebagai variasi dalam pemilihan kata untuk menghindari pemakaian kata yang sama secara berulang-ulang yang bisa mengakibatkan kejenuhan. Dengan adanya kata yang bersinonim, pemakai bahasa dapat mempunyai variasi kosakata yang dipergunakan untuk menghindari pemakaian kata secara berulang-ulang.
Karena adanya sinonim ini cukup penting, pemakai bahasa sering melakukan interferensi dalam bentuk penyerapan atau peminjaman kosakata baru dari bahasa sumber untuk memberikan sinonim pada bahasa penerima. Dengan demikian, kebutuhan kosakata yang bersinonim dapat mendorong timbulnya interferensi.
6) Prestise bahasa sumber dan
Prestise bahasa sumber dapat mendorong timbulnya interferensi, karena pemakai bahasa ingin menunjukkan bahwa dirinya dapat menguasai bahasa yang dianggap berprestise tersebut. Prestise bahasa sumber dapat juga berkaitan dengan keinginan pemakai bahasa untuk bergaya dalam berbahasa. Interferensi yang timbul karena faktor itu biasanya berupa pamakaian unsur-unsur bahasa sumber pada bahasa penerima yang dipergunakan
7). Terbawanya kebiasaan dalam bahasa ibu
Terbawanya kebiasaan dalam bahasa ibu pada bahasa penerima yang sedang digunakan, pada umumnya terjadi karena kurangnya kontrol bahasa dan kurangnya penguasaan terhadap bahasa penerima. Hal ini dapat terjadi pada dwibahasawan yang sedang belajar bahasa kedua, baik bahasa nasional maupun bahasa asing. Dalam penggunaan bahasa kedua, pemakai bahasa kadang-kadang kurang kontrol. Karena kedwibahasaan mereka itulah kadang-kadang pada saat berbicara atau menulis dengan menggunakan bahasa kedua yang muncul adalah kosakata bahasa ibu yang sudah lebih dulu dikenal dan dikuasainya.
B. Integrasi
Integrasi adalah penggunaan unsur bahasa lain secara sistematis seolah-olah merupakan bagian dari suatu bahasa tanpa disadari oleh pemakainya (Kridalaksana: 1993:84). Salah satu proses integrasi adalah peminjaman kata dari satu bahasa ke dalam bahasa lain.
Oleh sebagian sosiolinguis, masalah integrasi merupakan masalah yang sulit dibedakan dari interferensi. Chair dan Agustina (1995:168) mengacu pada pendapat Mackey, menyatakan bahwa integrasi adalah unsur-unsur bahasa lain yang digunakan dalam bahasa tertentu dan dianggap sudah menjadi bagian dari bahasa tersebut. Tidak dianggap lagi sebagai unsur pinjaman atau pungutan.
Mackey dalam Mustakim (1994:13) mengungkapkan bahwa masalah interferensi adalah nisbi, tetapi kenisbiannya itu dapat diukur. Menurutnya, interferensi dapat ditetapkan berdasarkan penemuan adanya integrasi, yang juga bersifat nisbi. Dalam hal ini, kenisbian integrasi itu dapat diketahui dari suatu bentuk leksikal. Misalnya, sejumlah orang menganggap bahwa bentuk leksikal tertentu sudah terintegrasi, tetapi sejumlah orang yang lain menganggap belum.
Senada dengan itu, Weinrich (1970:11) mengemukakan bahwa jika suatu unsur interferensi terjadi secara berulang-ulang dalam tuturan seseorang atau sekelompok orang sehingga semakin lama unsur itu semakin diterima sebagai bagian dari sistem bahasa mereka, maka terjadilah integrasi. Dari pengertian ini dapat diartikan bahwa interferensi masih dalam proses, sedangkan integrasi sudah menetap dan diakui sebagai bagian dari bahasa penerima.
Berkaitan dengan hal tersebut, ukuran yang digunakan untuk menentukan keintegrasian suatu unsur serapan adalah kamus. Dalam hal ini, jika suatu unsur serapan atau interferensi sudah dicantumkan dalam kamus bahasa penerima, dapat dikatakan unsur itu sudah terintegrasi. Sebaliknya, jika unsur tersebut belum tercantum dalam kamus bahasa penerima unsur itu belum terintegrasi.
Dalam proses integrasi unsur serapan itu telah disesuaikan dengan sistem atau kaidah bahasa penyerapnya, sehingga tidak terasa lagi keasingannya. Penyesuaian bentuk unsur integrasi itu tidak selamanya terjadi begitu cepat, bisa saja berlangsung agak lama. Proses penyesuaian unsur integrasi akan lebih cepat apabila bahasa sumber dengan bahasa penyerapnya memiliki banyak persamaan dibandingkan unsur serapan yang berasal dari bahasa sumber yang sangat berbeda sistem dan kaidah-kaidahnya. Cepat lambatnya unsur serapan itu menyesuaikan diri terikat pula pada segi kadar kebutuhan bahasa penyerapnya. Sikap penutur bahasa penyerap merupakan faktor kunci dalam kaitan penyesuaian bentuk serapan itu. Jangka waktu penyesuaian unsur integrasi tergantung pada tiga faktor antara lain (1) perbedaan dan persamaan sistem bahasa sumber dengan bahasa penyerapnya, (2) unsur serapan itu sendiri, apakah sangat dibutuhkan atau hanya sekedarnya sebagai pelengkap, dan (3) sikap bahasa pada penutur bahasa penyerapnya.
I.6 Penerapan
Sosiolinguistik
Masalah
kebahasaan di Indonesia merupakan masalah yang rumit banyak faktor dan kondisi
yang melilit persoalan linguistik. Faktor pertama adalah kemajemukan bangsa
yang berarti juga kemajemukan budaya dan bahasa. Ada tiga masalah yang dihadapi
dan masing-masing memerlukan kebijakan. Ketiga masalah itu ialah masalah bahasa
Indonesia, masalah bahasa daerah , dan masalah bahasa asing. Faktor kedua ialah
keberagaman bahasa daerah dalam jumlah yang sangat besar. Indonesia merupakan
negara yang dihuni oleh ribuan suku dan budaya, diperkirakan 500 bahasa daerah
terdapat di negara kita ini. Oleh karena itu, masalah yang timbul ialah
mengenai pembakuan bahasa. Faktor ketiga ialah faktor kontak bahasa. Masalah
yang timbul akibat kontak bahasa tersebut yakni masalah timbulnya campur kode
dan interferensi. Tampubolon mengemukakan perlu adanya adopsi dan importasi.
Adopsi adalah proses pengambilan dan penggunaan kosakata bahasa daerah secara
tidak atau kurang beraturan dan tidak sesuai dengan kebutuhan yang wajar
sehingga sering membingungkan. Alasan utama mengadakan adopsi dan importasi
ialah tidak adanya kosakata yang tepat dalam bahasa bersangkutan untuk
menyatakan suatu ide. Sedangkan alasan lain ialah (1) untuk membentuk suatu
ragam khusus, (2) untuk tujuan eufimismistis atau gaya topeng. Sedangkan gejala
importasi berlebihan ialah proses pemasukan dan penggunaan kosa kata bahasa
asing secara tidak atau kurang berlebihan dan tidak sesuai dengan kebutuhan
yang wajar, terutama melalui hubungan perdagangan luar negeri, sehingga sering
membingungkan. Alasan lain adanya importasi ialah (1) pengaruh hubungan bisnis
luar negeri sebagai alasan yang paling kuat dan (2) gengsi sebagai alasan yang
kurang kuat. Dampak dari importasi berlebihan ialah alienasi bahasa, kerancuan
struktural, dan kerancuan kognitif. Faktor keempat adalah sikap mental anggota
masyarakat Indonesia yang negatif. Sikap negatif yang menonjol ialah (1)
penggunaan unsur asing yang tidak perlu (2) penggunaan bahasa Indonesia yang
menyimpang dari kaidah : kaidah ucapan, kaidah bentukan kata, kaidah bentukan
kaliat, kaidah ejaan dan tanda baca.masalah terakhir ialah penggunaan bahasa
asing yang terkesan fanatisme berlebihan. Kebijakan bahasa dapat dikatakan
sebagai garis haluan yang menjadi dasar dalam perencanaan dan pelaksanaan dalam
kegiatan kebahasaan. Kebijakan menganai bahasa nasional dimulai pada sumpah
pemuda. Alasan dari kebijakan ini (1) embrio bangsa Indonesia sudah mampu
menentukan sikap politik yang penting dalam memikirkan negara (2) penentuan
bahasa Indonesia itu menunjukkan wawasan yang luas dan jauh ke depan masyarakat
Indonesia, khususnya pemuda dalam memikirkan masa depan bangsa. Fungsi bahasa
nasional (1) lambang kebanggaan nasional, (2) lambang identitas nasional, (3)
alat yang memungkinkan penyatuan berbagai suku bangsa dengan latar belakanh
sosial budaya dan bahasa daerah yang berbeda-beda, ddan (4) alat perhubungan
antardaerah dan antarbudaya. Kebijakan tentang bahasa negara terjadi pada tahun
1945. Sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi (1) bahasa resmi
kenegaraan, (2) bahasa pengantar dalam dunia pendidikan, (3) alat perhubungan
pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan
nasional serta kepentingan pemerintah, dan (4) alat pengembangan kebudayaan,
ilmu pengetahuan, dan teknologi. Kebijakan tentang bahasa daerah dapat dilihat
pada penjelasan UUD 1945 pasal 36. Bahasa daerah berfungsi sebagai (1) lambang
kebanggaan daerah, (2) lambang identitas daerah, dan (3) alat perhubungan di
dalam keluarga dan masyarakat daerah. Kebijakan mengenai bahasa asing berfungsi
(1) alat perhubungan antarbangsa, (2) alat pembantu pengembangan bahasa
Indonesia menjadi bahasa modern, dan (3) alat pemanfaatan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern untuk pembangunan nasional. Kebijakan tentang kelembagaan
dengan terbentuknya Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa yang bertugas
melaksanakan penelitian, pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra
berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri pendidikan dan kebudayaan.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dibantu oleh UPT yang disebut Balai
Bahasa. Kebijakan tentang penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dapat
dideskripsikan, bahasa yang baik adalah bahasa yang digunakan sesuai kaidah
kebahasaan :ucapan, kosakata, gramatika dan ejaan. Sedangkan bahasa yang benar
adalah bahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan konteks penggunaan :
partisipan, situasi, media, topik, waktu dan tempat.
Perencanaan bahasa adalah kegiatan politis dan
administratif untuk menyelesaikan persoalan bahasa dalam masyarakat. Target
terpenting dalam perencanaan bahasa Indonesia ialah pembakuan. Pembakuan adalah
Proses pengangkatan satu ragam bahasa menjadi ragam yang diterima secara meluas
di kalangan masyarakat bahasa sebagai ragam supradialektal sebagai bentuk
“terbaik” di atas dialek-dialek local dan sosial. Bahasa baku perlu memiliki
sifat kemantapan dinamis. Fungsi dari bahasa baku yakni fungsi pemersatu,
fungsi penanda kepribadian, fungsi penanda tempat tertinggi atau gengsi
tertinggi, dan fungsi kerangka acuan atau ukuran untuk menentukan ketepatan
penggunaan bahasa. Pengembangan kosakata dapat berupa hilangnya kata dari
penggunaan, munculnya kata lama dalam penggunaan baru, munculnya kata dengan
makna yang baru, munculnya kata baru, dan munculnya kata dengan bentukan baru.
Terdapat empat stategi dalam pemekaran sumber bahasa sendiri yakni pemerian
makna baru, terhadap kata yg sudah ada, pengaktifan kembali unsur lama yang
sudah mati, penciptaan bentukan baru, dan penciptaan akronim. Pemekaran bahasa
yang serumpun memiliki kemudahan karena kesamaan atau kemiripan sistem
fonologis, morfologis dan sintaksis. Sedangakan untuk bahasa asing
syarat-syarat yang perlu diperhatikan sebagai dasar pemekaran adalah istilah
asing lebih cocok karena konotasinya, karena cocok konotasinya, istilah asing
memudahkan pengalihan antarbahasa mengingat keperluan masa depan serta
memudahkan tercapainya kesepakatan jika istilah Indonesia terlalu banyak
sinonimnya. Dari cara membentuk istilah dari bahasa asing, langkah-langkah
berikut merupakan urutan, penerjemahan, adaptasi lalu adopsi.
I.7 Model Fungsional Dalam Sosiolinguistik
Sebelum
kita mengenal atau mendeskripsikan lebih jauh mengenai model-model yang
terdapat dalam sosiolinguistik, hendaknya kita lebih mengerti terlebih dahulu
definisi dari model itu sendiri. Model adalah Suatu representasi yang
disederhanakan atau diidealkan terhadap sesuatu yang dianggap relevan dari
system atau realita yang akan dideskripsikan. Dalam bidang sosial, model
terbagi atas (1) model yang melukiskan sifat atau gejala tanpa mendeskripsikan
huibungan antargejal tersebut, (2) model yang melukiskan hubungan antargejala.
Namun model tersebut juga memiliki beberapa kelemahan, yakni : (1) terlalu
banyak memberi tekanan kepada simbol sehingga seringkali tidak dapat
menggambarkan suatu gejala dengan akurat, terutama dalam bidang kajian
humaniora, (2) terlalu mementingkan bentuk dan keajegan, simplifikasi, dan
menggambarkan gejala hanya sebagai peta sehingga cenderung gambaran yang
diperoleh tidak tepat atau tidak akurat baik perihal konsep-konsep maupun
hubungan antar konsep yang digambarkannya. Jenis model berdasarkan fungsinya
dibagi atas tiga tipe (deskriptif,prediktif dan normatif), berdasar ciri
strukturnya (ikonik, analog dan simbolik), berdasar ciri waktu (statik dan
dinamik), berdasar ciri pasti-tidak pasti (deterministik,probabilistik, dan
tipe permainan) berdasar ciri umum-khusus (umum dan khusus), serta model cara
lain yakni (fisik, semantik, dan model interpretatif). Model bahasa cenderung
bertipe simbolik sehingga lebih kearah abstrak, selain itu model bahasa juga
cenderung memanfaatkan bukti-bukti isomorfomis sehingga memudahkan pengkaji
bahasa untuk memanipulasi variabel-variabel serta merevisi model itu sendiri.
Dalam ilmu sosiolinguistik kajian bahasa cenderung mengarah pada perangkat
tingkah lau oleh karena itu, Samsuri mengidentifikasi kartekteristik model
dengan tiga kategori dasar yakni definisi bahasa, semestaan bahasa dan
tingkat-tingkat keilmubahasaan. Model tradisional berkembang pada saat fisofof
Yunani kuno. Menurut mereka, bahasa adalah tanda pikiran dan gagasaan,
sedangkan kemestaan bahasa tidak terstruktur pada zaman ini, semua gagasan
tentang bahasa haruslah taat pada azaz dan menyesuaikan diri dengan apa saja
yang terdapat dalam bahasa Yunani kuno tersebut. Tingkat-tingkat keilmubahasaan
terbatas pada tulisan, morfologi dan sintaksis. Model struktural berkembang
karena adanya buku karangan Ferdinand de Saussure. Model ini menganggap bahasa
adalah sebagai suatu lambang yang arbriter yang dipakai untuk menyatakan
pikiran, perasaan dan keinginan untuk berinteraksi dan berkooperasi. Model
transformasi menganggap bahasa adalah susunan unsur-unsur yang terbatas
jumlahnya yang penyusunannya diatur oleh kaidah-kaidah yang terbatas pula
jumlahnya, menjadi kalimat-kalimat yang secara teoritis dan praktis terbatas
jumlahnya.
Model teori
informasi digagas oleh Shanon dimana ia menjelaskan mengenai adanya repertoire
(gangguan) bahasa dalam proses komunikasi. Selanjutnya ia membagi repertoire itu menjadi
repertoire umum (linguistik) dan individual (nonlinguistik). Model Antropologis
mengkaji hubungan antara bahasa dengan kebudayaan. Sapir menangkap bahwa dunia
nyata dalam banyak hal memang dibentuk secara tidak sadar oleh kebiasaan bahasa
yang ada dalam suatu kelompok tersebut. Selanjutnya Sapir menjelaskan bahwa
bahasa adalah metode mengkomunikasikan gagasan-gagasan, emosi serta keinginan
yang bersifat manusiawi murni dan non-instingtif dengan menggunakan sistem
simbol-simbol yang dihasilkan secara sukarela. Pada model sosialogis dijelaskan
bahwa struktur sosial, peran dan kode hadir bersama-sama dalam peristiwa
komunikasi yang dapat berubah baik sesuai dengan masyarakatnya, interaksi
sosialnya, maupun linguistiknya. Sedangkan model psikologis lebih mengacu
mengenai tingkah laku individu di dalam atau di antara struktur-struktur sosial
serta pada saat individu itu menjadi partisipan proses sosial. Beberapa temuan
model fungsional diantaranya model Bright, kekomplekan pengembangan model ini
menuntut kreativitas untuk mengisi karakteristik identitas pembicara, mitra
tutur dan latar peristiwa tutur. Model Brown dan Gilman ini dipakai untuk
mengkaji kata ganti kedua dalam sekelompok bahasa di Eropa. Latar belakang yang
sebagai penghubung dari penggunaan kedua kata ganti tersebut ialah hubungan
kekuasaan dan keakraban. Keduanya bersumber dari realitas psikososial yang
terdapat dalam suatu masyarakat. Model Ervin-Tripp menerapkan kaidah alternasi
(pemilihan variasi atau bentuk bahasa dalam bertutur), kaidah kookurensi
(kaidah yang mengatur pemakaian variasi bentuk bahasa), dan kaidah sekuensi
(kaidah urutan yang mengatur giliran bertutur dalam suatu peristiwa tutur
tertentu). Hymes menganggap adanya komponen tutur yang mempengaruhi peristiwa
tutur yakni setting, paticipants, end, act sequences, keys, intrumentalities, norms
dan genre. Model SPEAKING ini berguna untuk memerikan gejala-gejala bahasa
seperti alih kode, interferensi, undausuk, gejala bilingualisme. Model Fishman
lebih fokus terhadap lingkungan , lingkungan diartikan sebagai konteks
institusional. Penggunaan bahasa yang sesuai dengan mkkonteks institusional
disebut kongruen, sedangkjan penggunaan bahasa yang tidak sesuai dengan konteks
institusional disebut inkongruen. Kontruk sosial dapat diabstraksikan dari
berbagai konteks yakni topik, hubungan antarpenutur-mitratutur dan lokasi.
Model Bernstein menggambarkan hubungan antara tatanan simbolik khususnya sistem
tutur, dengan struktur sosial pada anak-anak kelas pekerja dan anak-anak kelas
menengah. Selanjutnya Bernstein membedakan antara tutur terbatas dengan tutur
terjabar. Sifat tutur terbatas cenderung tertutup, sehingga anak-anak dapat
mengekspresikan ide dengan mengandalkan pada unsur suprasegmental seperti
intonasi, metafora dan paralingua, sedangkan tutur terjabar lebih terbuka.
Pengambilan keputusan keluarga berorientasi pada posisi dan pribadi. Sedangkan
cara pengontrolannya dapat berupa modus perintah atau modus himbauan.
1.8 Bilingualisme dan
Diglosia
Awal terbentuknya bilingualisme
terletak pada keberadaan masyarakat bahasa yang berarti masyarakat yang
menggunakan bahasa yang disepakati sebagai alat komunikasinya. Dari masyarakat
bahasa tersebut akan menjadi sebuah teori baru mengenai bilingualisme dan
monolingual. Monolingual adalah masyarakat bahasa yang menggunakan satu bahasa.
Sedangkan bilingualisme menurut Nababan (1964:27) kebiasaan menggunakan dua
bahasa dalam interaksi dengan orang lain. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
dan dalam Kamus Linguistik bilingualisme diartikan sebagai pemakai dua bahasa
atau lebih oleh penutur bahasa atau oleh suatu masyarakat bahasa. Dengan kata
lain kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih dalam bilingualisme berlaku
secara perorangan dan juga secara kelompok kemasyarakatan. Penekanan
bilingualisme disini terletak pada keadaan atau kondisi serta seorang penutur
atau masyarakat bahasa. Bilingualisme sering juga disebut dengan kedwibahasaan.
Sedangkan menurut Mackey bilingualisme bukanlah fenomena sistem bahasa
melainkan fenomena pertuturan atau penggunaan bahasa yakni praktik penggunaan
bahasa secara bergantian. Bilingualisme bukan ciri kode melainkan ciri
pengungkapan. Bilingualisme memiliki dua tipe yang pertama bilingualisme setara
yaitu bilingualisme yang terjadi pada penutur yang memiliki penguasaan bahasa
secara relatif sama. Di dalam bilingualisme setara ini terdapat proses
berfikir. Tipe yang kedua yakni bilingualisme majemuk, bilingualisme ini
terjadi pada penutur yang tingkat kemampuan menggunakan bahasanya tidak sama.
Sering terjadi kerancuan dalam bilingualisme ini sehingga dapat menyebabkan
interferensi. Interferensi disini ialah masuknya suatu bahasa kedalam bahasa
yang lain. Faktor penentu yang menyebabkan bilingualisme ialah bahasa yang
digunakan, bidang penggunaan bahasa, dan mitra berbahasa.
Diglosia
menurut Ferguson
yakni fenomena penggunaan ragam bahasa yang dipilih sesuai dengan fungsinya.
Memiliki tipe rendah dan tinggi, tipe tinggi biasanya berhubungan dengan agama,
pendidikan , dan aspek budaya yang tinggi sedangkan ragam rendah digunakan di
rumah, pabrik dan sebagainya. Berbeda dengan Ferguson, Fishman beranalisa bahwa
diglosia mengacu pada penggunaan bahasa yang berbeda dengan fungsi yang
berbeda.diglosia dapat dipilah menjadi dua profil yakni diglosia pada
masyarakat monolingual yang berasumsi fenomena pemilihan ragam bahasa seperti
dialek dan register, dan diglosia pada masyarakat bilingual yaitu fenomena
pemilihan dan penggunaan salah satu masyarakat bahasa sesuai dengan fungsinya.
Landasan dalam diglosia ini ialah pertimbangan fungsi bahasa dalam menentukan
pilihan bahasa diantara dua bahasa atau lebiih, bukan kebiasaan dan kemampuan
menggunakan dua bahasa. Situasi diglosia di Indonesia terbagi menjadi dua yaitu
situasi pilihan bahasa dan situasi penggunaan varian bahasa. Situasi pilihan
bahasa disini membandingakan kedudukan yang tinggi dalam bahasa Indonesia dan
bahasa daerah. Bahasa tinggi dan bahasa rendah ditentukan oleh konteks dan
situasi kebutuhan alat komunikasi yang dikaitkan dengan fungsi bahasa pilihan.
1.9 Bahasa
Dan Struktur Sosial
Perbedaan kompetensi berbahasa individu berhubungan erat dengan
kompetensi komunikatif. Kompetensi komunikatif adalah kemampuan bertutur atau
menggunakan bahasa sesuai dengan fungsi, situasi, serta norma-norma berbahasa
dalam masyarakat yang sebenarnya. Kompetensi komunikatif melibatkan kode
bahasa. Kompetensi komunikatif berhubungan dengan kemampuan sosial dan
kebudayaan pemakai bahasa yang dapat membantu untuk menggunakan dan
menginterpretasikan bentuk-bentuk linguistik. Kemampuan komunikatif juga biasa
disebut dengan repertoar bahasa. Repertoar bahasa yang dimiliki dan dikuasau
oleh sekelompok pemakai bahasa auat masyarakat disebut masyarakat tutur.
Menurut Fishman dan Labov masyarakat tutur berbeda dengan masyarakat bahasa. Ia menilai masyarakat dari segi kebudayaannya. Sedangkan para ahli lain
lebih menyoroti mengenai kerja sama dan organisasi. Masyarakat tutur terbagi
atas makro dan mikro, landasan terbentuknya karena adanya saling pengertian,
dimensi sosial psikologi yang subjektif dan sikap serta kepercayaan para
pemakai bahasa terhadap bahasa yang ada dalam masyarakatnya.
Sedangkan tipe masyarakat tutur itu sendiri
lambat laun mengalami pergeseran dari faktor keturunan ke faktor pendidikan.
Ada 4 pengklasifisian tipe masyarakat tutur yakni; berdasarkan pada perolehan
dan kepandaian berbahasa antara lain masyarakat ekabahasa (monolingual),
masyarakat dwibahasa (bilingual), dan masyarakat tutur multibahasa
(multilingual). Berdasarkan strata sosial, masyarakat tutur terbagi atas
lapisan atas, lapisan menengah dan lapisan bawah. Penyebab adanya lapisan
sosial ialah sesuatu yang dihargai. Berdasarkan ciri perkembangan ada empat
tipe masyarakat tutur yakni masyarakat primitif, desa tradisional, kota
praindustri dan modern. Sedangkan berdasar kegiatan tutur komunikasi terbagi
atas situasi tutur, peristiwa tutur dan tindak tutur.
Variasi bahasa ada segi internal dan
eksternal. Internal itu bila kita berlandaskan faktor-faktor internal bahasa
itu sendiri. Hal ini untuk menentukan kekerabatan bahasa, pencarian bahasa
purba, pengelompokkan bahasa, asal bahasa dan migrasi bahasa serta bangsa
pemiliknya, dan pengaruh timbal balik bahasa sekitarnya dari keserumpunan
bahasa. Sedangkan variasi eksternal disebabkan adanya perbedaan struktur dan
pranata sosial dan kemajemukan masyarakat, baik horizontal maupun vertikal.
Tiga variasi yang bersumber dari variasi eksternal, ketiga sumber itu ialah (1)
variasi interpersonal atau disebut juga variasi bebas. Variasi ini dapat
menyajikan pilihan kode yang berkorelasi dengan karakteristik individu
pemakainya. (2) variasi intrapersonal, variasi ini berdasar pada aspek-aspek
dinamis penggunaan bahasa yang diakibatkan oleh situasi tertentu dalam
interaksi. Terakhir ialah variasi inherent asumsinya bahwa bahasa seorang
anggota masyarakat tutur terdapat dalam satu sistem, sedangkan variasi yang ada
itu pada hakikatnya hanyalah representasi permukaan yang berbeda-beda
kemunculannya akibat pengaruh kendala linguistik dan non-linguistik.
Kriteria dan wujud variasi bahasa berdasarkan
penutur variasi bahasa memiliki sifai perorangan maupun kelompok. Bagi kelompok
dapat dibagi lagi meliputi dialek areal, kronolek, dan sosiolek. Berdasar pada
status, golongan dan kelas sosial ini varias bahasa terbagi atas akrolek,
basilek, vulgar, slang, kolokial, jargon dan prokem. Berdasar pemakaian bahasa
terbagi antara lain bidang pemakaian bahasa dan fungsi pemakaian bahasa
kebakuan dan tidak bakunya suatu bahasa. Berdasar tingkat keformalan terdiri
dari baku, resmi, usaha, santai, dan variasi akrab. Berdasar pada sarana dibagi
menjadi dua yaitu ragam bahasa lisan dan tulis. Kajian tipe bahasa dapat
berdasar pada dua asumsi kajian bahasa, yaitu kajian linguistik dan sosiologis.
Kajian
kedua itu disebut tipologi fungsional yang didasri oleh atribut sehingga
membentuk sebuah parameter. Bagi parameter Stewart menggunakan atribut
standarisasi, pemerian kenyataan, vitalitas, historitas, dan otonomi atau
kemandirian.
Kajian
fungsi bahasa seperti yang telah kita pelajari di kajian aliran linguistik,
setiap ahli memiliki pandangan tersendiri. Secara global disini dapat kita
simpulkan bahwa Berdasar pada penutur bahasa berfungsi emotif, berdasar mitra
tutur bahasa berfungsi direktif, dalam hal kontak antara penutur dengan lawan
tutur bahasa bersifat fatik, pada topic ujaran bahsa menganut paham
referensial, bagian kode lebih condong kearah metalingual dan metalinguistik, serta
di bagian amanat bahasa lebih bersifat imajinatif. Selain fungsi intern juga
terdapat fungsi ekstern antara lain fungsi kebudayaan, fungsi kemasyarakatan,
fungsi perorangan, dan fungsi pendidikan.
1.10 Ragam Bahasa
Ragam Bahasa disebabkan oleh adanya
kegiatan interaksi sosial yang dilakukan oleh masyarakat atau kelompok yang
sangat beragam dan dikarenakan oleh para penuturnya yang tidak homogen. Dalam
hal variasi bahasa ini ada dua pandangan. Pertama, variasi itu dilihat sebagai
akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa
itu. Jadi variasi bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya keragaman sosial
dan keragaman fungsi bahasa. Kedua, variasi bahasa itu sudah ada untuk memenuhi
fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam.
Kedua pandangan ini dapat saja diterima ataupun ditolak. Yang jelas, variasi
bahasa itu dapat diklasifikasikan berdasarkan adanya keragaman sosial dan
fungsi kegiatan didalam masyarakat sosial. Namun Halliday membedakan variasi
bahasa berdasarkan pemakai (dialek) dan pemakaian (register). Berikut ini akan
dibicarakan variasi-variasi bahasa tersebut, dimulai dari segi penutur ataupun
dari segi penggunanya.
- Ragam dari Segi Penutur
Pertama,
idiolek, merupakan variasi bahasa yang bersifat perseorangan. Setiap orang
mempunyai idiolek masing-masing. Idiolek ini berkenaan dengan “warna” suara,
pilihan kata, gaya bahasa, susunan kalimat, dsb. Yang paling dominan adalah
warna suara, kita dapat mengenali suara seseorang yang kita kenal hanya dengan
mendengar suara tersebut Idiolek melalui karya tulis pun juga bisa, tetapi
disini membedakannya agak sulit. Kedua, dialek, yaitu variasi bahasa dari
sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada di suatu tempat atau area
tertentu. Bidang studi yang mempelajari tentang variasi bahasa ini adalah
dialektologi. Ketiga, kronolek atau dialek temporal, yaitu variasi bahasa yang
digunakan oleh kelompok sosial pada masa tertentu. Sebagai contoh, variasi
bahasa Indonesia pada masa tahun tiga puluhan, lima puluhan, ataupun saat ini.
Keempat, sosiolek atau dialek sosial, yaitu variasi bahasa yang berkenaan
dengan status, golongan dan kelas sosial para penuturnya. Dalam sosiolinguistik
variasi inilah yang menyangkut semua masalah pribadi penuturnya, seperti usia,
pendidikan, keadaan sosial ekonomi, pekerjaan, seks, dsb. Sehubungan dengan ragam bahasa yang
berkenaan dengan tingkat, golongan, status, dan kelas sosial para penuturnya
disebut dengan prokem.
2.
Ragam dari Segi Pemakaian
Ragam bahasa berkenaan dengan
penggunanya, pemakainya atau fungsinya disebut fungsiolek, ragam atau register.
Ragam ini biasanya dibicarakan berdasarkan bidang penggunaan, gaya , atau tingkat keformalan dan sarana
penggunaan. Ragam bahasa berdasarkan bidang pemakaian ini adalah menyangkut
bahasa itu digunakan untuk keperluan atau bidang apa. Misalnya, bidang sastra,
jurnalistik, pertanian, militer, pelayaran, pendidikan, dsb.
3.
Variasi dari Segi Keformalan
Menurut Martin Joos, ragam bahasa
dibagi menjadi lima macam gaya (ragam), yaitu ragam beku (frozen); ragam resmi
(formal); ragam usaha (konsultatif); ragam santai (casual); ragam akrab
(intimate). Ragam beku adalah variasi bahasa yang paling formal, yang digunakan
dalam situasi khidmat dan upacara resmi. Misalnya, dalam khotbah,
undang-undang, akte notaris, sumpah, dsb.Ragam resmi adalah ragam bahasa yang
digunakan dalam pidato kenegaraan, rapat dinas, ceramah, buku pelajaran, dsb. Ragam
usaha adalah variasi bahasa yang lazim digunakan pembicaraan biasa di sekolah,
rapat-rapat, ataupun pembicaraan yang berorientasi kepada hasil atau produksi.
Wujud ragam ini berada diantara ragam formal dan ragam informal atau
santai.Ragam santai adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tidak
resmi untuk berbincang-bincang dangan keluarga atau teman pada waktu
beristirahat, berolahraga, berekreasi, dsb. Ragam ini banyak menggunakan bentuk
alegro, yakni bentuk ujaran yang dipendekkan.Ragam akrab adalah ragam bahasa
yang biasa digunakan oleh para penutur yang hubngannya sudah akrab, seperti
antar anggota keluarga, atau teman karib. Ragam ini menggunakan bahasa yang
tidak lengkap dengan artikulasi yang tidak jelas.
- Ragam dari Segi Sarana
Variasi bahasa
dapat pula dilihat dari segi sarana atau jalur yang digunakan. Dalam hal ini
dapat disebut adanya ragam lisan dan tulis atau juga ragam dalam berbahasa
dengan menggunakan sarana atau alat tertentu, misalnya bertelepon atau
bertelegraf. Perbedaan penggunaan ragam bahasa disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor yang mempengaruhi
ragam bahasa diantaranya adalah
:
1. faktor waktu
2. faktor kebiasaan
3. faktor menarik perhatian
pembeli
4.
faktor agar cepat terjual (laku).
5.
faktor pendidikan.
Adanya
kenyataan bahwa wujud ragam bahasa
yang digunakan berbeda-beda berdasarkan faktor-faktor sosial yang tersangkut di
dalam situasi pertuturan, seperti jenis kelamin, tingkat pendidikan, status
sosial ekonomi penutur, dan lawan tutur.
Register adalah variasi bahasa yang menyangkut bahasa itu digunakan untuk keperluan atau bidang apa. Misalnya bidang jurnalistik, militer, pertanian.
perdagangan, pendidikan, antara sesame sopir bus dan sebagainya. Variasi bahasa dari segi pemakaian ini yang paling tanpak cirinya adalah dalam hal kosakata. (Chaer, 2004:68).
Daftar Pustaka
Alwasilah, A Chaedar. 1985. Beberapa Madhab dan dikotomi Teori Linguistik.
Bandung :
Angkasa.
Ardiana, Leo Idra. 1990. Analisis kesalahan Berbahasa. FPBS IKIP Surabaya .
Bawa, I Wayan. 1981. “Pemakaian Bahasa Indonesia yang
Baik dan Benar”. Denpasar: Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Sastra
Universitas Udayana.
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik
Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul
dan Leoni Agustina. 1995. Sosiolinguistik
Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Huda, Nuril
dkk. 1981. Interferensi
Bahasa Madura Terhadap Bahasa Indonesia Tulis Murid Sekolah Dasar Jawa Timur.
Jakarta. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Hayi, Abdul
dkk. 1985. Interferensi
Gramatika Bahasa Indonesia dalam Bahasa Jawa. Jakarta. Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Jendra. I
Wayan. 1991. Dasar-Dasar
Sosiolinguistik. Denpasar:
Ikayana.
Kridalaksana, Harimurti.1998. Introduction to Word Formation and
Word Classes. Jakarta .
Universitas Indonesia .
Nababan. P.W.J. 1984. Sosiolingustik.
Suwito. 1985. Pengantar
Awal Sosiolinguistik: Teori dan Problema. Surakarta:
Henary Cipta.
http://pusatbahasaalazhar.wordpress.com/hakikat-hakiki-kemerdekaan/interferensi-dan-integrasi/http://adiel87.blogspot.com/search/label/Linguistik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar